Senin 08 Jul 2019 14:52 WIB

Penguatan Rupiah Berpotensi Turunkan Tarif Listrik

Kurs tengah rupiah terhadap dolar (AS) selama bulan Juli 2019 cenderung menguat.

Penguatan rupiah berimbas pada penurunan tarif listrik.
Foto: PLN
Penguatan rupiah berimbas pada penurunan tarif listrik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan tidak akan ada kenaikan tarif listrik hingga akhir 2019. Penegasan itu tetap istiqomah dengan kebijakan Pemerintahan Joko Widodo yang disampaikan pada awal 2017.

Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan pada saat itu, pertimbangannya bukan karena hampir bersamaan dengan tahun politik, tetapi lebih untuk meringankan beban rakyat, yang daya belinya lagi rendah dan menjaga inflasi tetap pada kisaran tiga persen per tahun. Kebijakan untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2019, menurut Fahmy, menyebabkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik lebih tinggi dari pada tarif listrik ditetapkan pada 2017-2019.

Baca Juga

Konsekuensinya, kata Fahmy, Pemerintah harus mengalokasikan sejumlah dana untuk kompensasi sebesar Rp 7,45 triliun dan subsidi sebesar Rp 15,72 triliun, yang dibebankan pada APBN tahun berjalan. Untuk mengurangi beban APBN periode 2020, pemerintah akan menyesuaikan tarif listrik melalui penerapan automatic adjustment bagi 12 golongan pelanggan listrik.

Fahmy mengatakan automatic adjustment adalah mekanisme penyesuaian tarif listrik secara otomatis, yang digunakan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam menetapkan penaikan atau penurunan tarif listrik. Dasar yang digunakan dalam adalah varibel penentu BPP, terdiri dari Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), serta harga energi primer.

"Penyesuaian tarif listrik otomatis itu berdasarkan variabel penentu tersebut bisa menyebabkan tarif listrik naik, tetapi bisa pula tarif listrik turun dibanding tarif listrik sebelumnya, tergantung dari besaran variabel penentu tersebut," ujarnya seperti dalam siaran pers.

Fahmy mengatakan kalau mencermati BPP listrik pada saat ini tampaknya besaran semua variabel penentu itu akan menurunkan besaran BPP listrik. Kurs tengah rupiah terhadap dolar (AS) selama bulan Juli 2019 cenderung menguat mencapai rata-rata Rp 14.148 per satu dolar AS lebih kuat ketimbang asumsi APBN 2019 dan RKAP PLN yang ditetapkan sebesar Rp 15 ribu per satu dolar AS.

ICP juga menurutnya, cenderung turun pada kisaran 61 dolar AS per barel, lebih rendah dibandingkan dengan harga asumsi ICP di APBN yang ditetapkan sebesar 70 dolar AS per barel. Inflasi Juli diprediksikan juga rendah diramalkan hanya 0,12 persen per bulan, atau sekitar 3,12 persen YOY sepanjang 2019. Selain ketiga indikator itu, biaya energi primer yang menentukan HPP listrik cenderung tetap, bahkan beberapa beberapa harga energi primer mengalami penurunan.

Berdasarkan keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) harga Batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan sebesar 70 dolar per ton, yang diberlakukan per 12 Maret 2018 hingga sekarang. Dengan DMO harga Batubara itu, beban BPP listrik memang dapat diturunkan.

Harga gas, yang merupakan energi primer lainnya, kata Fahmy, ditetapkan delapan persen dari di mulut sumur gas atau maksimum 14,5 persen di plant gate pembangkit listrik, sehingga harganya lebih rendah. "Efisiensi yang dilakukan PLN, seperti susut jaringan dan operasional keuangan, juga telah menurunkan HPP listrik selama 2019," katanya.

Berdasarkan kecenderungan penurunan ICP, penguatan kurs rupiah terhadap dolar AS, dan stabilitas inflasi, penurunan harga energi primer, utamanya harga batu bara dan gas, serta efisiensi yang dilakukan PLN selama ini, maka BPP listrik mestinya mengalami penurunan yang signifikan. Fahmy mengatakan dengan penurunan BPP listrik itu, penetapan tarif dengan menggunakan automatic adjustment mestinya akan menurunkan tarif listrik pada 2020.

Menurut Fahmy turunnya tarif listrik pada 2020 akan memberikan berbagai benefit bagi konsumen dan perekonomian Indonesia. Beban pengeluaran konsumen akan menurun, sehingga bisa menaikkan daya beli masyarakat, yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Penurunan tarif listrik akan semakin menurunkan tingkat inflasi, sehingga dapat menurunkan harga-harga kebutuhan pokok. Bagi konsumen industri, penurunan tarif listrik akan menurunkan harga pokok penjualan produk dan jasa, sehingga dapat meningkatkan daya saing produk dan jasa di pasar dalam negeri, maupun pasar ekspor," ujarnya.

Penurunan tarif yang didasarkan atas penurunan BPP listrik tidak akan merugikan bagi PLN, bahkan PLN masih akan memperoleh margin dari penjualan setrum yang tarif listrik ditetapkan di atas hpp listrik. Menurut Fahmy dengan adanya berbagai benefit itu dan PLN masih memperoleh margin, maka tarif listrik harus diturunkan pada awal 2020 mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement