Jumat 05 Jul 2019 12:42 WIB

Kemendag Prediksi Peluang Ekspor Beras Minim

Cadangan beras pemerintah di gudang Bulog tercatat sekitar 2,2 juta ton.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Pekerja memanggul karung beras Bulog di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (4/7/2019).
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Pekerja memanggul karung beras Bulog di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (4/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Pemerintah terus memutar otak menyalurkan cadangan beras pemerintah (CBH) yang disimpan di gudang Bulog sekitar 2,2 juta ton. Peluang ekspor CBH yang sebelumnya pernah ditawarkan ke beberapa negara tetangga tersebut sempat batal dan belum ada lagi opsi terbuka lainnya. 

Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag) Karyanto Suprih memprediksi ekspor CBH sulit terealisasi dalam waktu dekat. Hal itu mengingat kurangnya pasar internasional yang berminat sebab harga CBH yang tidak kompetitif dibandingkan dengan negara-negara produsen beras lainnya.

Baca Juga

“Beras kita nggak laku kalau harga nggak kompetitif,” kata Karyanto, di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (5/7).

Sebagai perbandingan, berdasarkan catatan dari hasil negosiasi Bulog dengan sejumlah negara yang melakukan penjajakan impor beras asal Indonesia, harga beras Indonesia berada di level Rp 8.000 per kilogram (kg). Sedangkan di beberapa negara tetangga produsen beras seperti Thailand dan Vietnam, harga beras yang ditawarkan pasar ekspor dari mereka sekitar Rp 6.200 per kg.

Sementara berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Juni 2019 harga beras di penggilingan mengalami kenaikan. Kenaikan tersebut terjadi pada beras kualitas premium, medium, dan rendah. Mengacu statistik tersebut, rata-rata harga beras kualitas premium di tingkat penggilingan sebesar RP 9.516 per kg atau naik sebesar 0,56 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. 

Masih dari catatan BPS, rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp 9.166 per kg atau naik sebesar 0,26 persen. Sedangkan rerata hara beras kualitas rendah di penggilingan sebesar Rp 9.012 per kg, angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 0,65 persen. 

Menurut Karyanto, pihaknya terus mengupayakan peluang ekspor komoditas apapun termasuk pangan yang mencakup di dalamnya adalah beras. Hal itu dilakukan dengan upaya yang tengah dilakukan untuk membuka akses pasar global sebagai peluang ekspor yang memungkinkan. Hanya saja, menurut dia, Indonesia membutuhkan produk yang memiliki daya saing baik dari sisi kualitas dan harga. 

“Produk kita apa? Kalau produksi dalam negeri berlebih, tentu akan kita impor. Tapi kan harus mencakup dua aspek tadi, kualitas dan harganya masuk,” kata dia. 

Karyanto enggan menanggapi mengenai kualitas dan biaya produksi beras yang menyebabkan tingginya harga beras Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga lain. Menurut dia, saat ini yang terpenting adalah bagaimana memacu peluang ekspor dan strategi yang akan dilakukan pemerintah dalam membuka akses pasar seluas-luasnya. 

Di sisi lain, dia menegaskan, kebutuhan pangan di dalam negeri harus dijadikan hal yang utama. Menurut dia, ekspor CBH secara skala neraca perdagangan memang sangat menguntungkan, namun pihaknya juga perlu memastikan suplai beras di pasar domestik terkendali dan dapat mencegah gejolak harga. 

Terkait gejolak harga dan datangnya musim kemarau, kata dia, Kemendag akan melakukan sejumlah antisipasi untuk memastikan suplai bahan pangan terjaga. Untuk itu dia perlu terlebih dahulu memastikan sisi produksi dengan kebutuhan pasar dapat seimbang. 

“Kita akan hitung dulu dan pastikan bahwa ini suplai-demand-nya seimbang, supaya harga nggak bergejolak,” kata dia. 

Sebelumnya diketahui, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) mengatakan, gagalnya penajajakan ekspor CBH ke sejumlah negara tetangga disebabkan kalahnya Indonesia dalam melakukan penawaran harga. Harga CBH Indonesia dinilai sejumlah negara-negara calon pengimpor masih mahal. 

Buwas juga menuding, mahalnya harga beras Indonesia disebabkan mahalnya ongkos produksi yang disebabkan belum masifnya program mekanisasi pertanian. Menurut Buwas, sistem pertanian di Indonesia masih cenderung konvensional sehingga beban biaya produksi yang ditanggung petani cukup berat. 

“Kalau berasnya banyak tapi pasarnya nggak ada, yang rugi itu petani,” kata Buwas. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement