REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, adanya kebutuhan ayam yang tinggi di tingkat konsumen membuat pelaku kartel tergiur menjalankan aksinya. Diketahui, pola kartel ayam serupa pernah terjadi pada 2016 silam.
Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag) kebutuhan daging ayam ras secara nasional berkisar 3.251.745 ton per tahun atau rata-rata sekitar 271 ribu ton per bulan. Anjloknya harga ayam peternak sejak beberapa waktu lalu disebabkan adanya jumlah sarana produksi yang berlebih, khususnya dari impor bibit ayam atau day old chicken (DOC).
“Tapi, untuk mengetahui lebih jauh kartel ini perannya seperti apa, pemerintah harus sudah tahu berapa banyak struktur industri ayam ini,” kata Faisal saat dihubungi Republika, Rabu (3/7).
Dia menilai, pemerintah perlu mempelajari seluruh mata rantai yang bergerak di bidang produksi hingga pemasaran ayam tersebut. Sehingga para pelaku kartel, kata dia, dapat diidentifikasi secara menyeluruh baik itu dari peranannya hingga bagaimana mereka mengendalikan harga di tingkat peternak.
Tetapi yang jelas, menurut dia, pelaku kartel ayam tersebut dimungkinkan memiliki kekuatan yang cukup besar sebab pola kartel semacam ini diketahui pernah terjadi sebelumnya.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Tjahya Widayanti mengatakan, pihaknya belum dapat mengetahui informasi lebih lanjut mengenai dugaan ada atau tidaknya kartel di sektor perdagangan.
Menurut Tjahya, Kemendag saat ini masih berfokus menaikkan harga ayam peternak ke harga acuan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 96 Tahun 2018 sebesar Rp 18 ribu-Rp 20 ribu per kilogram (kg). Harga tersebut, merupakan harga yang berada di atas biaya produksi yang dikeluarkan peternak.
“Ini perkembangan (kenaikan) harga peternak pasti ada terus, yang jelas sudah ada kenaikan dan kita masih terus mengupayakan itu,” kata dia.