Rabu 03 Jul 2019 13:33 WIB

Bisnis Properti di Jabar Melambat Hingga 25 Persen

Tahun ini kondisinya lebih melambat karena ada hajatan politik dan libur lebaran.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Bisnis property di Jabar, beberapa tahun ini mengalami perlambatan.
Foto: Foto: Arie Lukihardianti/Republika
Bisnis property di Jabar, beberapa tahun ini mengalami perlambatan.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Bisnis property di Jabar, beberapa tahun ini mengalami perlambatan. Menurut Ketua DPD REI Jawa Barat Joko Suranto, dalam tiga tahun terakhir ini terjadi perlambatan ekonomi sehingga berdampak terhadap bisnis properti.

"Perlambatan bisnis property ini kami rasakan tahun ini sekitar 20 sampai 25 persen," ujar Joko dalam diskusi tentang pertumbuhan industri properti, di Bandung, Selasa (2/7).

Dikatakan Joko, bisnis property terjadi pelambatan sejak 2015. Kalau dari awal, total perlambatannya, sekitar 30 sampai 35 persen dr awal. Bahkan untuk segmen tertentu sudah lebh dari itu. "Rumah harga Rp 1 miliar begitu juga sektor apartemen perlambatannya 60 sampai 70 persen," katanya.

Joko memprediksi, tahun ini kondisinya pasti akan lebih melambat karena ada hajatan politik. Serta, ada libur lebaran sehingga ruang kerja sedikit menjadi melambat dari tahun lalu.

Maka, kata dia, tidak heran jika para pengembang kini beralih dengan membidik rumah hunian sederhana. "Saat ini banyak pengembang beralih ke rumah subsidi. (Menjual rumah) harga di atas Rp 500 juta itu susah, apalagi Rp 1 miliar. Rumah murah jadi safety buat binsi property," katanya.

photo
Pengunjung melihat produk properti.

Oleh karena itu, dia berharap, pemerintah mendorong sektor properti melalui kebijakan-kebijakan yang positif. Dia menagih pemerintah agar benar-benar merealisasikan program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) ini.

Joko ingin kepastian terkait dana subsidi tersebut karena menurutnya baru bisa cair saat APBN Perubahan pada September mendatang. Selain itu, dia berharap tidak ada aturan yang tumpang tindih terkait program tersebut.

"Kepastian dana anggaran untuk subsidi. Ini belum pasti, karena road map APBNP, September. Berarti ada tiga bulan masa waktu orang susah usaha," katanya.

Sebenarnya, kata dia, eluang bisnis properti di Jawa Barat masih menjanjikan karena jumlah penduduk yang banyak. Ini terlihat dari tingginya kebutuhan rumah yang menurutnya mencapai 4,5 juta unit. "Kebutuhan semakin naik, karena pertambahan penduduk semakin naik," katanya. 

Dalam setiap tahun, pembangunan rumah baru di Jawa Barat mencapai 50-60 ribu unit dari berbagai tipe. Yakni, ada di Bekasi, Karawang, Bogor, Bandung, Purwakarta, dan Tasikmalaya. "Lebih ke rumah tapak, karena yang naik ke atas hanya 0,sekian persen. Bunuh diri kalau maksain ke sana," katanya.

Menurut Kasie Kerja Sama Direktorat Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Fitri Ami Handayani, pemerintah pusat menargetkan pembangunan 14 ribu rumah sederhana baru pada 2019 ini. Program subsidi yang dikemas dalam  BP2BT ini khusus untuk pembelian rumah pertama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Program tersebut akan membantu masyarakat dalam pembayaran uang muka. 

"Program ini akan mensubsidi uang muka sampai dengan Rp 40 juta," kata Fitri. Dengan subsidi uang muka ini, kata dia, nantinya MBR tidak terlalu diberatkan dengan jumlah cicilan setiap bulannya.Program ini dikhususkan untuk MBR dengan penghasilan hingga Rp 7,5 juta dalam setiap bulannya.

Nominal ini, kata dia, telah ditingkatkan karena awalnya program BP2BT hanya untuk MBR dengan penghasilan maksimal Rp4 juta. "Kami memperluas batasan program ini. Untuk pembelian rumah tapak batasan penghasilan hingga Rp6 juta, untuk rumah susu Rp 7,5 juta," katanya.

Dengan memperluas batasan ini, Fitri meyakini, akan semakin banyak masyarakat yang bisa merasakan program tersebut. Namun, ia mengakui hingga saat ini realisasi program tersebut masih sedikit meski BP2BT ini sudah diluncurkan sejak 2018.

Hal ini terjadi, kata dia, karena minimnya sosialisasi terutama kepada para pengembang yang menurutnya masih terbiasa dengan skema subsidi berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). "Jadi kami harus meningkatkan sosialisasi lagi ke pengembang dan masayarakat," katanya.

Sehingga, kata di, tidaklah heran jika program ini baru terealisasi di satu daerah. Yakni, baru Bogor saja.

Untuk meningkatkan realisasi, kata dia, pemerintah pun memperluas syarat rumah yang bisa dibiayai. Jika awalnya BP2BT untuk membeli rumah yang sudah dibangun oleh pengembang, kini masyarakat pun bisa menggunakan program tersebut untuk membangun rumah di atas lahan yang sudah dimiliki.

"Ini bisa juga bagi masyarakat yang sudah punya lahan, ingin bangun rumah, tapi kurang uang untuk konstruksinya. Asal untuk rumah pertama," katanya.

Menurutnya, opsi rumah swadaya inipun menjadi solusi di saat para pengembang kesulitan mencari lahan di perkotaan. "Makanya ada opsi rumah swadaya. Masyarakat yang punya lahan warisan di kota, dia bisa mengakses subsidi untuk membangun (rumah)," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement