REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Realisasi penyerapan subsidi listrik hingga Mei 2019 baru mencapai 18,45 triliun atau sekitar 28,3 persen dari total alokasi subsidi sebesar Rp 65,32 triliun. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), rendahnya penyerapan subsidi itu bukan akibat pemerintah menekan atau menahan subsidi.
Rendahnya penyerapan tersebut diklaim karena dipicu oleh rendahnya biaya pokok produksi listrik saat ini. Kondisi itu alhasil membuat selisih antara harga listrik yang diterima masyarakat dan harga ideal tarif listrik semakin mengecil.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan, Ditjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, Hendra Iswahyudi, menjelaskan, saat ini posisi kurs rupiah terhadap dolar AS dan harga minyak dunia mengalami perbaikan. Hingga Mei lalu, posisi nilai rupiah berada pada level Rp 14.157 per dolar AS, lebih rendah daripada asumsi sebesar Rp 15.000 per dolar AS. Selain itu, harga minyak dunia juga turun menjadi 60,5 dolar AS per barel atau lebih rendah dari prakiraan sebesar 70 dolar AS per barel.
Rendahnya dua komponen pembentuk harga listrik itu membuat selisih harga antara biaya pokok produksi listrik dan tarif tenaga listrik hanya Rp 537 per kiloWatt-hour (kWh). Realisasi selisih itu turut lebih kecil dibanding prakiraan sebesar Rp 764 per kWh.
"Jadi, realisasi turun bukan karena subsidinya yang ditekan. Tidak begitu," kata Hendra di Gedung Ditjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (2/7).
Sementara itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Rida Mulyana, mengatakan, alokasi subsidi listrik tahun ini sebesar Rp 65,32 triliun sejatinya bukanlah target. Justru, pihaknya berharap agar subsidi dapat digunakan seminimal mungkin dengan dorongan menurunnya tarif tenaga listrik.
"Bahwa realisasi rendah, ya disyukuri. Meskipun kita tidak bisa mengontrol harga minyak dunia, paling tidak kurs kita bisa jaga sehingga besaran subsidi yang digunakan jadi lebih rendah," ujar Rida.
Adapun pada tahun 2020 mendatang, Rancangan APBN mengalokasikan subsidi listrik sebesar Rp 58,62 triliun. Alokasi tersebut lebih rendah dibanding 2019 karena komponen pembentuk tarif tenaga listrik juga rendah. Kurs rupiah misalnya, diprediksi sebesar Rp 14 ribu per dolar AS dan harga minyak dunia hanya 60 dolar per barel.
Rida menjelaskan, sekitar Rp 45,57 triliun atau 78,05 persen subsidi listrik tahun depan digunakan untuk 23,9 juta pelanggan 450 volt ampere (VA) dan 7,2 juta pelanggan 900 VA tidak mampu. Selain itu juga digunakan untuk 24,4 juta pelanggan 900 VA kelas rumah tangga mampu (RTM).
Rida menjelaskan, pemerintah tidak akan menganggu subsidi untuk 24 juta pelanggan 900 VA RTM karena berkaitan dengan isu sosial. "Itu kalau diutak-atik nanti berkaitan dengan isu sosial apalagi penggunanya ada 24 juta," ujar dia.