Kamis 27 Jun 2019 08:09 WIB

Kementan Turunkan Tim Penanganan Kekeringan

Salah satu penyebab kekeringan adalah sistem pengairan air yang terhambat.

Red: EH Ismail
Anak-anak bermain di area lahan pertanian yang mengalami kekeringan di Gedebage, Kota Bandung, Rabu (26/6).
Foto: Abdan Syakura
Anak-anak bermain di area lahan pertanian yang mengalami kekeringan di Gedebage, Kota Bandung, Rabu (26/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Memasuki musim kemarau, Kementerian Pertanian (Kementan) telah menjalankan sejumlah langkah strategis untuk mengantisipasi potensi kekeringan pada lahan pertanian.  Salah satunya adalah menurunkan tim khusus penanganan kekeringan di wilayah sentra produksi padi. 

Dalam menjalankan tugasnya, tim ini berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat maupun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). “Mereka akan bekerja sama untuk memetakan potensi permasalahan kekeringan di sejumlah daerah dan menyiapkan solusi berupa 'penggelontoran' air dari bendungan,” jelas Sarwo, di Jakarta, Kamis (27/6). 

Tim ini akan meng identifikasi wilayah yang terdampak kekeringan. Apabila masih terdapat sumber air (air dangkal), maka tim ini mendorong Dinas Pertanian setempat  untuk mengajukan bantuan pompa air kepada instansi terkait. 

Salah satu penyebab kekeringan di lahan-lahan pertanian, disebut Sarwo, adalah sistem pengairan air yang terhambat. Kementan sendiri telah berupaya membenahi tata kelola air dengan memfasilitasi pembangunan infrastruktur air untuk lahan pertanian selama tiga tahun terakhir. “Infrastruktur ini dapat meminimalisir dampak kekeringan di areal pertanian. Setidaknya 3,1 juta hektare lahan dapat merasakan dampaknya," beber Sarwo. 

Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan semua pihak mewaspadai potensi kekeringan akibat musim kemarau. Berdasarkan pemantauan BMKG, sebanyak 35 persen wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau. 

Untuk meminimalisasi kerugian petani yang lahannya terkena dampak kekeringan, Sarwo Edhy menyebutkan pihaknya memfasilitasi Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). Asuransi ini memungkinkan petani mendapatkan ganti rugi apabila terdampak musibah kekeringan maupun banjir. "Fasilitas ini supaya tidak mengganggu produksi pangan nasional nantinya," ucap Sarwo. 

Untuk mendapatkan AUTP, Sarwo menyebutkan, petani cukup membayar premi Rp 36 ribu per hektare per musim. Tarif tersebut dinilainya dapat dijangkau oleh para petani. Mereka bisa mendapatkan ganti hingga Rp 6 juta per hektare apabila sawahnya mengalami salah satu dari kondisi berikut, yakni terkena dampak kekeringan, banjir atau serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). 

Berdasarkan catatan Kementan, jumlah petani yang terdaftar sebagai peserta AUTP terus menunjukkan tren positif sejak dua tahun terakhir. Pada 2017, luas lahan yang didaftarkan petani mengikuti AUTP adalah 997.961 hektare dengan klaim kerugian tercatat 25.028 hektare. Tahun 2019 ini, kami targetkan lahan yang diasuransikan bisa mencapai 1 juta hektare. Kami terus dorong petani untuk mengikuti AUTP ,” kata Sarwo. 

 

Antisipasi pengamanan produksi musim tanam 2019

Selain berupaya menata pengelolaan air, Kementan juga turut berkonsentrasi dalam mengamankan produksi tanaman pangan pada Musim Tanam 2019. “Kami secara kontinu mengedukasi petani untuk berbudidaya tanaman dengan baik, sesuai iklim dan kondisi setempat, antara lain melalui pemilihan komoditas, varietas spesifik lokasi, pengaturan waktu tanam, pola tanam, teknik bercocok tanam, dan pengaturan ketersediaan air,” ungkap Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Edy Purnawan saat ditemui terpisah. 

Untuk daerah rawan kekeringan, Kementan telah menyiapkan varietas yang berumur genjah dan toleran terhadap kekeringan, seperti Inpari 38, Situpatenggang, Limboto, Situbangendit, dan varietas lokal lainnya yang memiliki sifat toleran terhadap kekeringan. 

Selain itu, sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan budidaya tanaman secara spesifik lokasi, Edy menyebutkan Kementan telah menyebarkan informasi prakiraan iklim Musim Kemarau 2019. “Kami memiliki aplikasi KATAM atau Kalendar Tanam Terpadu yang dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam bercocok tanam. Aplikasi ini bisa diakses melalui website Balitbangtan (Badan Litbang Pertanian.red),” terangnya. 

Pada daerah yang memiliki sifat hujan di Bawah Normal (BN), terutama di Provinsi Aceh, Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Jabar, Jatim, NTT, Kalteng, Sulut, Sulsel, Sultra, Malut dan Papua, perlu dilakukan upaya antisipasi terjadinya kerusakan tanaman akibat kekeringan dan serangan OPT.

“Untuk daerah yang memiliki sifat hujan di bawah normal, kami telah antisipasi dengan pembuatan sumur suntik, pembuatan penampungan untuk panen air dan pembuatan biopori,” sebut Edy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement