REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyiapkan skema buy the service atau pembelian layanan untuk operasional bus rapid transit (BRT) pada 2020. Skema buy the service ini adalah sistem pembelian layanan oleh pemerintah kepada pihak swasta untuk mengoperasikan angkutan dan merupakan bagian dari BRT.
"Dari hasil diskusi dengan beberapa pakar transportasi, muncullah skema buy the service yang dibantu juga oleh beberapa pakar dari negara-negara yang sudah berpengalaman dan akan diuji coba tahun 2020 mendatang di tiga kota besar," kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi di Jakarta, Rabu (26/6).
Skema ini, menurut Budi, akan di uji coba pada tahun 2020. "Berikutnya kalau sistem ini sudah jadi maka akan dianggarkan di tahun depan. Namun kami sebagai pemerintah hanya memberi layanan saja, namun yang mengoperasikannya swasta. Ini tidak mengenai untung rugi tetapi bentuk bagaimana pemerintah hadir ke dalam masyarakat," tuturnya.
Secara terpisah, pengamat transportasi Universitas Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan skema pembelian jasa adalah salah satu upaya untuk menghemat APBN mengingat keterbatasan keuangan negara dan kemampuan fiskal daerah.
Ia mengatakan program ini rencananya akan diberikan pada enam perkotaan, yakni Medan, Palembang, Solo (Subosukowonosraten), Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar (Sarbagita). Djoko menjelaskan selama ini, lebih dari 10 tahun, daerah hanya dibagikan sejumlah armada bus, namun tidak menimbulkan layanan angkutan umum yang bagus di daerah.
Pasalnya, tidak ada pola pembinaan dan pengawasan dari pusat meskipun penataan angkutan umum sudah diamanahkan dalam UU 22/2009 tentang LLAJ, RPJMN 2015-2019 dan Rencana Strategi Kemenhub 2015-2019.
"Program ini tidak akan banyak menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha angkutan umum jika sedini mungkin dilakukan sosialisasi. Sopir akan mendapat gaji bulanan, tidak dipusingkan dengan setoran pada pemilik armada. Pemilik armada bergabung dalam satu badan hukum yang menjadi operator dan diberikan keuntungan dari biaya operasional yang diselenggarakan," katanya.
Djoko menambahkan program ini juga murah, karena setiap koridor menghabiskan biaya operasional per tahun kisaran Rp 15 miliar hingga Rp 25 miliar tergantung pilihan jenis armada yang dioperasikan dan waktu kedatangan (headway) yang ditetapkan.
"Buy the service bukan menggusur tetapi menggeser," katanya.
Djoko mengatakan persiapan hingga operasi membutuhkan waktu 6-8 bulan (pengalaman di Jawa Tengah), karena itu jika ingin diiperasikan awal 2020, mestimulai sekarangpersiapan dilakukan.
Menurut dia, yang paling sulit adalah meyakinkan kepala daerah, anggota DPRD dan operator yang ada. Untuk itu, anggota DPRD perlu diyakinkan, sebab ada kewajiban yang harus dilakukan dan dianggarkan oleh pemda, seperti kebijakan pembatasan kendaraan pribadi, membangun trotoar dan halte, sosialisasi ke masyarakat dan operator.
"Kemenhub harus bekerja sama dengan Kemendagri untuk mewujudkan ini. Karena selama ini program angkutan umum di daerah gagal," katanya.