REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bisnis rumah tinggal untuk wisatawan atau homestay diharapkan menjadi salah pendorong peningkatan jumlah wisatawan mancengara (wisman). Di satu sisi, keberadaan homestay di sejumlah daerah wisata prioritas wisata masih butuh banyak pembenahan. Khususnya terkait pengelolaan oleh komunitas setempat.
Ketua Tim Percepatan Pengembangan Homestay Desa Wisata, Kemenpar, Anneke Prasyanti, mengatakan pihaknya dalam jangka panjang menargetkan terbentuknya 10 ribu kamar homestay di 2.000 desa wisata yang berada dalam 10 wilayah wisata prioritas.
Semenjak bisnis homestay mulai serius digarap pemerintah pada 2017 silam, hingga saat ini telah terbentuk sekitar 4.700 kamar yang tersebar di 80 desa wisata. "Ini jumlah yang terverifikasi melalui sistem digital yang juga sedang kita bangun untuk mengetahui jumlah homestay yang benar-benar resmi sekaligus jumlah kunjungannya," kata Anneke kepada Republika.co.id, Ahad (16/6).
Anneke menyampaikan, animo masyarakat desa dan wisatawan asing lokal belakangan ini cukup tinggi terhadap homestay. Dari segi masyarakat desa, homestay menjadi lapangan pekerjaan dengan profit yang menjanjikan. Hal itu juga mendorong percepatan pembangunan infrastruktur setempat. Sementara, bagi wisatawan, homestay memiliki banyak keunggulan dari banyak aspek.
Ia menjelaskan, bisnis homestay dapat didirikan di sebuah rumah milik warga dengan fasilitas yang nyaman dan bersih. Namun, Homestay hanya dapat dikelola oleh komunitas setempat nonpemerintah. Anneke mengatakan, homestay untuk wisatawan dapat didirikan di desa wisata yang telah memiliki Surat Keputusan (SK) pemerintah setempat ataupun desa yang telah dikenal sebagai desa wisata.
"Jadi homestay harus ada di desa wisata yang memang memiliki atraksi. Seperti bentang alam, budaya, dan kuliner," ujarnya.
Kendati diharapkan dapat membantu untuk menggenjot jumlah kunjungan wisatawan, Anneke belum dapat memaparkan pengaruh keberadaan homestay terhadap penambahan kunjungan. Ia mengakui, terdapat banyak tantangan dalam membenahi bisnis homestay yang saat ini didirikan secara mandiri oleh masyarakat desa.
Dari segi pendataan, Badan Pusat Statistik (BPS) belum memiliki pendataan wisatawan yang masuk ke desa. Untuk wisatawan asing misalnya, pendataan hanya dilakukan di pintu-pintu masuk bandara oleh pihak imigrasi.
Oleh sebab itu, Kemenpar tengah membangun sistem digital yang terintegrasi dengan pemerintah daerah setempat untuk mengetahui perkembangan homestay. Sistem tersebut nantinya bakal berisi data lengkap homestay terverifikasi sekaligus jumlah kunjungan dari wisatawan asing dan lokal. Sistem tersebut diperbarui setiap satu pekan sekali dengan bantuan pemerintah daerah serta kelompok sadar wisata (pokdarwis) setempat.
Minimnya pengetahuan masyarakat desa menjadi pekerjaan berat bagi Kementerian Pariwisata untuk menggarap sektor ini. Karenanya Anneke bersama tim terus melakukan pendampingan dan sosialisasi secara masif di 10 wilayah wisata nasional prioritas.
Meski demikian, Anneke ada tantangan mendasar dalam membenahi bisnis homestay di desa wisata. Ia menyebut, definisi homestay hingga saat ini masih dalam tahap perumusan sehingga dalam praktiknya, homestay dengan mudah dipakai pengusaha hotel untuk menghindari pajak.
Padahal, pada dasarnya, pelaku usaha homestay memiliki kewajiban berupa Pajak Penghasilan (PPh) UMKM sebesar 0,5 persen. "Saya maunya definisi itu bisa diketok palu tahun ini supaya nanti ada regulasi yang jelas. Definisi homestay juga harus terdaftar dahulu di KBLI," ujar dia.
Berdasarkan temuan di lapangan, Anneke menyebut, sebagian pengusaha homestay tidak dikenakan pajak oleh pemerintah setempat. Sementara, sebagian daerah lainnya justru menyamakan homestay dengan hotel sehingga dibebankan pajak sebesar 10 persen.
Itu sebabnya, diperlukan regulasi yang jelas dan harmonis antara pemerintah pusat dan daerah agar ada keadilan terhadap pengusaha homestay. Dengan begitu, pengembangan homestay ke depan dapat dilakukan secara tertata sehingga ikut mendorong peningkatan kunjungan wisatawan.