Jumat 07 Jun 2019 10:38 WIB

Tarif Pemerintah Trump Rusak Sistem Perdagangan Global

Ketegangan perdagangan AS-China perlu cepat diselesaikan melalui perjanjian

Trump mengumbar sanksi ekonomi dan perang dagang.
Foto: republika
Trump mengumbar sanksi ekonomi dan perang dagang.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan pada Kamis (6/6) bahwa peningkatan tarif impor dan langkah-langkah lain yang diambil oleh Washington merusak sistem perdagangan global. Tak hanya itu, kebijakan tarif Pemerintahan Donald Trump jug meningkatkan pembatasan perdagangan barang dan jasa, serta menggerakkan siklus respons perdagangan pembalasan.

"Langkah-langkah tarif kemungkinan tidak akan efektif dalam mengatasi defisit perdagangan bilateral dan akan merusak AS serta ekonomi makro global," kata IMF dalam sebuah pernyataan setelah mengakhiri konsultasi Pasal IV tahunannya untuk meninjau ekonomi AS.

Baca Juga

"Daripada memperluas hambatan tarif dan non-tarif, AS dan mitra dagangnya harus bekerja secara konstruktif untuk mengatasi distorsi dalam sistem perdagangan," kata IMF.

IMF menambahkan bahwa sangat penting bahwa ketegangan perdagangan AS-China cepat diselesaikan melalui perjanjian komprehensif yang memperkuat sistem internasional. "AS akan mendapatkan keuntungan dengan bekerja sama dengan mitra internasional untuk memperkuat sistem perdagangan multilateral yang berdasarkan pada peraturan," kata pemberi pinjaman internasional yang berbasis di Washington itu.

Direktur pelaksana IMF, Christine Lagarde, mengatakan pada konferensi pers Kamis (6/6) bahwa ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan mitra dagangnya mewakili ancaman terhadap pandangan global dan menciptakan dampak negatif penting kepada negara lain.

"Agar ekonomi global berfungsi dengan baik, ia harus dapat mengandalkan sistem perdagangan internasional berbasis aturan yang lebih terbuka, lebih stabil, dan lebih transparan," kata Lagarde.

"Seperti yang kami sebutkan sebelumnya, tidak ada yang memenangkan perang dagang."

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement