REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Desa Selorejo, Kecamatan Dau, berada sekitar 8 kilometer dari Kota Batu di Kabupaten Malang. Lokasi ini berhawa sejuk dengan pemandangan Gunung Semeru, Gunung Arjuna dan Gunung Kawi ini mempunyai potensi pengembangan buah jeruk. Komoditas buah jeruk yang merupakan sentra penghasil kini memang sudah identik dengan obyek wisata. Sepanjang kawasan, masyarakat setempat yang memiliki kebun secara aktif menawarkan wisata petik jeruk.
Kepala Desa Selorejo, Bambang Soponyono menjelaskan bahwa hampir semua lahan warga memiliki tanaman jeruk. Desa ini memiliki lahan baku sawah seluas 43 hektare dan baku tegal seluas 320 hektare ini didominasi kebun jeruk. Pesona wisata petik jeruk kini sudah menjadi ikon desa. Jika sedang musim liburan panjang, lalu-lalang kendaraan dari luar Jawa Timur pun silih berganti menuju desa itu.
“Sisi agribisnis jeruk ini akan bersinergi dengan sisi wisata yang sudah ada dan terus dikembangkan. Tujuannya, selain sisi ekonomi agribisnis dan kepariwisataan, juga sekaligus memberikan manfaat dan nilai tambah bagi petani," ujar Sopoyono.
Jeruk Gayo
Adalah Sujarwo, petani jeruk senior yang telah mengelola kebun jeruknya selama puluhan tahun. Tanaman jeruk yang dimilikinya berjumlah sekitar 1000 batang.
"Untuk sukses dalam bertani jeruk bukanlah instan. Pasti ada pengalaman pahit manis yang dijalani. Salah satunya serangan OPT pada tanaman jeruk," ujarnya.
Dalam usaha tani jeruk, pengeluaran terbesar adalah untuk pembelian sarana pengendalian OPT yaitu pestisida. Semasa belum menjadi binaan UPTD BPTPH Jawa Timur, Sujarwo mengaku bergantung pada pestisida.
Pada 1990 an petugas BPTPH mengenalkan agens hayati dan pestisida nabati sebagai bahan pengendalian OPT. Secara bertahap cara tersebut diadopsi dan mulai penggunaan pestisida khususnya insektisida. Pengalaman tersebut ternyata membuahkan hasil yang positif.
"Pengalaman menggunakan agens hayati, penggunaan pestisida dapat ditekan hingga 50 persen. Buah jeruk yang dikelola secara ramah lingkungan lebih berkualitas baik dari rasa maupun tampilannya, serta daya simpan lebih lama. Hal ini tentunya sangat menggembirakan," ungkap pria yang akrab dipanggil Jarwo ini.
Setelah merasakan manfaat dan keuntungan dari cara pengendalian OPT secara ramah lingkungan, Jarwo menekuni kearifan lokal dengan membuat ramuan bahan pengendalian OPT. Antara lain dengan menggunakan tanaman kipait, nimba, sirsak dan sebagainya.
Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf mengemukakan bahwa Kementan bersama jajaran UPTD Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) serta Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit/Laboratorium Agens Hayati terus mengembangkan dan menyebarluaskan teknologi pengendalian OPT secara ramah lingkungan.
"Petugas perlindungan di lapang siap mendampingi petani dalam mengembangkan pertanian organik. Diharapkan kedepan penerapan budidaya tanaman hortikultura secara ramah lingkungan khususnya pada tanaman jeruk semakin luas. Apalagi jeruk di Kecamatan Dau dikembangkan sebagai wisata agro, maka kebun hendaknya aman bagi pengunjung dan produknya aman konsumsi," jelasnya.