REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah memilih Provinsi Riau sebagai pilot project sinkronisasi satu data perkebunan sawit. Karena, Dengan menyelesaikan sinkronisasi satu data perkebunan sawit di Riau, maka sinkronisasi satu data sawit di daerah lain bisa dilakukan.
Menurut Policy Advisor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Lin Che Wei, masalah di Riau soal perkebunan sawit paling kompleks. “Riau laboratorium yang sangat lengkap dengan masalahnya yang juga lengkap. Ada gambut, masalah hutan, dan sebagainya. Kalau kita bisa menyelesaikan masalah Riau kita akan bisa menyelesaikan masalah di daerah lain,” kata Lin Che Wei di Pekanbaru, Riau, Sabtu (25/5).
Menurut Lin Che Wei, jika menyelesaikan sinkronisasi satu data sawit di daerah lain dulu, belum tentu akan menemukan masalah seperti yang terjadi di Riau. Namun, jika masalah Riau yang diselesaikan dahulu, maka jika ditemukan masalah di tempat lain, maka akan lebih mudah diselesaikan karena di Riau sudah ditemukan solusinya.
Sementara, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono mengatakan, alasan dipilihnya Riau karena Riau memiliki area perkebunan sawit paling luas dan masalahnya yang kompleks. “Jadi, untuk melihat masalah perkebunan sawit secara utuh, kita masuk ke sini yang luas kebunnya sangat luas,” kata Kasdi.
Pada kesempatan itu, Kasdi juga menjelaskan bahwa pemerintah terus menyamakan persepsi antarlembaga terkait sinkroniasi data luas perkebunan kelapa sawit. Di mana, hal tersebut bertujuan untuk memperoleh satu data secara nasional dengan metodologi yang disepakati.
Pada Jumat (24/5) di Pekanbaru, Riau, sejumlah lembaga terkait seperti Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan pemerintah daerah, melakukan forum group discussion (FGD).
"Diskusi ini saya kira sangat penting karena berkaitan dengan metodologi (sinkronisasi data). Tentu apa yang kita lakukan ini harus dikombinasikan dengan ground check," kata Direktur Jenderal Perkebunan Kasdi Subagyono di sela acara FGD tersebut.
Menurut Kasdi, soal sinkronisasi data sawit ini baru pertama kali dilakukan. Tujuannya adalah untuk menguji, menyempurnakan, dan memperbaiki prosedur mengenai deliniasi (pemetaan) lahan sawit.
"Sebelumnya belum pernah sinkronisasi. Ini baru pertama. Dulu hanya koordinasi saja dan terbukti hasil (datanya) berbeda-beda," kata Kasdi.
Pekerja melansir Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit di Pekanbaru, Riau, Rabu (20/3/2019).
Adapun hasil yang disepakati dari FGD adalah menggunakan metodologi dengan memadukan antara yang detail namun tak lengkap, tidak detail namun lengkap, dan rinci. "Itu yang akan kita gunakan dan itu akan diintervensikan dalam metodologi," katanya. "Metodologi itu akan diterapkan untuk area seluruh Indonesia," tambah Kasdi.
Menurut Kasdi, yang menginisasi sinkronisasi data sawit adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonimian. Karena ini juga terkait dengan deliniasi, maka dilibatkan sejumlah lembaga terkait.
"Yang berkompetensi terhadap citra satelit dan peta dasar maka dilibatkan BIG (Badan Informasi Geoparsial) dan LAPAN. Kalau kami (Ditjen Perkebunan) lebih kepada data-data tabular yang harus kita cross check. Kami menjadi wali data karena ini wilayah kita soa sawit," kata Kasdi.
Kasdi menjelaskan soal latar belakang sinkronisasi data sawit ini. Yaitu, terjadinya perbedaan mengenai data tentang luas lahan perkebunan sawit. Ini disebabkan oleh perbedaan metodologi dan kriteria pengolahan datanya. "Sehingga hasilnya menjadi berbeda-beda," kata Kasdi.
Misalnya, berdasarkan data statistik perkebunan, luas area perkebunan sawit adalah 14,3 juta hektare. Kemudian, versi BIG 17,9 juta hektare, LSM 16,8 juta hektare, KPK 15,7 hektare, sementara dari perspektif perizinan 20 juta hektare," kata Kasdi.
Atas dasar itulah, pemerintah kemudian sepakat untuk mengeluarkan kebijakan satu data. "Maka kita sudah melakukan upaya mensinkronkan, merekonsiliasi data yang melibatkan Kementan, KPK, BIG, LAPAN, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian," kata Kasdi.
Kasdi berharap, pada Agustus mendatang sudah ada satu data yang keluar. "Jika sudah ada kesamaan data maka ini akan terwujud administrasi transparasnsi yang baik soal teknis produksi sawit," kata Kasdi.
Selain itu, proses perencanaan, pelaksanaan di lapangan, soal perizinan, perluasan, replanting, identifikasi, menjadi lebih baik. "Karena itu kita harus punya satu data," kata Kasdi.
Petani mengangkat kelapa sawit ke dalam pick up untuk dibawa ke pengepul di Kampung Sidodadi, Kab. Siak, Riau, Kamis (10/11).