Ahad 19 May 2019 10:47 WIB

Hemat Devisa Rp 789 T, Kemenperin Dorong Produksi Green Fuel

Penggunaan green fuel diharapkan bisa mengurangi impor migas Indonesia

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Green fuel. ilustrasi
Foto: clipartof.com
Green fuel. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah berupaya mendongkrak kontribusi industri nonmigas dengan mendorong produksi bahan bakar. Sebab, selama ini Indonesia masih ketergantungan pada impor, di antaranya memproduksi green fuel seperti biodiesel B20 dan B30 yang merupakan bahan bakar diesel campuran minyak nabati dan minyak bumi (petroleum diesel)

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan upaya tersebut guna menekan defisit neraca perdagangan akibat impor sektor migas. “Sekarang pemerintah memitigasinya dari sektor industri adalah penggunaan biofuel, bahkan pemerintah akan mendorong penggunaan green fuel, green diesel, green gasoline dan green avtur. Tetapi berproduksi itu membutuhkan waktu, jadi tidak ada yang instan,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika, Ahad (19/5).

Baca Juga

Menurutnya salah satu sumber minyak nabati atau metil ester adalah minyak kelapa sawit (palm oil) yang banyak dimiliki oleh Indonesia, dari sisi bahan baku penggunaan biofuel tersebut sangat memungkinkan, karena beberapa daerah di tanah air merupakan penghasil sawit terbesar di dunia.

Dengan penggunaan biofuel yang dicampur minyak nabati, diharapkan mampu menghemat devisa negara dan kuota impor migas akan berkurang. “Kami juga sudah meminta pada pelaku usaha agar mendukung penuh penggunaan bio diesel bisa dijalankan,” ungkapnya.

Airlangga menyebut pengembangan kendaraan listrik akan pula dapat mengurangi ketergantungan pada pemakaian BBM serta mengurangi ketergantungan pada impor BBM. Hal ini bakal berpotensi menghemat devisa sekitar Rp789 triliun.

Sejumlah pihak optimistis Indonesia mampu mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi bahan bakar hijau untuk kendaraan. Pemanfaatan teknologi canggih, diyakini dapat membantu menyikapi kebutuhan energi alternatif. Selain sawit, Indonesia juga berpeluang mengembangkan energi dari ganggang guna menjadi bahan bakar.

“Indonesia juga akan mengandalkan cadangan bijih nikelnya yang melimpah, sebagai bahan baku utama dalam pembuatan baterai kendaraan atau peralatan listrik, sekaligus menjadikannya sebagai daya tarik investasi bagi perusahaan asing yang ingin memperluas produksi,” jelasnya.

Airlangga menambahkan upaya mengolah sumber daya alam melalui kebijakan hilirisasi industri telah mampu meningkatkan nilai tambah. Selain dapat menstabilkan harga komoditas, hilirisasi juga dipacu untuk menyubstitusi impor bahan baku.

Indonesia akan memiliki pabrik yang memproduksi material energi baru dari nikel laterit. Ini melalui investasi PT QMB New Energy Materials di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah, yang ditargetkan akan beroperasi pada pertengahan 2020.

Proyek industri smelter berbasis teknologi hydrometallurgy tersebut akan memenuhi kebutuhan bahan baku baterai lithium generasi kedua nikel kobalt yang dapat digunakan untuk kendaraan listrik. Total investasi yang ditanamkan sebesar 700 juta dolar AS dan akan menghasilkan devisa senilai 800 juta dolar AS per tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement