Jumat 03 May 2019 13:38 WIB

Instrumen Ritel untuk Kurangi Kepemilikan Asing di SBN

Asing menguasai SBN dengan porsi 38,4 persen.

Rep: Lida puspaningtyas/ Red: Friska Yolanda
Nasabah melihat informasi Sukuk Tabungan Seri ST003 melalui website Mandiri Syariah di Jakarta, Kamis (7/1).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Nasabah melihat informasi Sukuk Tabungan Seri ST003 melalui website Mandiri Syariah di Jakarta, Kamis (7/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) berupaya mengurangi porsi kepemilikan asing pada Surat Berharga Negara (SBN). Direktur DJPPR, Luky Alfirman mengatakan salah satu caranya adalah dengan memperluas basis investor dalam negeri.

Menurut data DJPPR per 29 April 2019, asing menguasai mayoritas SBN dengan porsi 38,4 persen atau Rp 963 triliun, diikuti oleh bank sebesar 23,9 persen. Sementara basis investor ritel atau individu hanya 3,3 persen.

Luky mengatakan penerbitan SBN basis ritel menjadi salah satu strategi juga untuk pendalaman pasar. Sehingga dapat mengoptimalkan sumber utang domestik. Tahun ini DJPPR akan meluncurkan 10 SBN basis ritel.

"Tahun rencana peluncuran masih on the track, tetap 10, kita juga diversifikasi ada yang konvensional, syariah, tradeable dan non-tradeable," kata dia usai peluncuran SBN Ritel, Sukuk Tabungan seri ST-004, Jumat (3/5).

ST-004 merupakan SBN ritel kelima yang diterbitkan tahun ini. Masih ada lima seri baik obligasi maupun sukuk yang akan terbit setiap bulan kecuali bulan Juni dan Desember. 

Meski demikian, Luky mengatakan pemerintah tetap fleksibel dan melihat kondisi pasar untuk menentukan imbal hasil dan target. Pada seri Sukuk Ritel terbaru, pemerintah berhasil menutup penjualan sebesar Rp 21 triliun.

Luky mengatakan capaian ini karena sukuk ritel bersifat bisa diperdagangkan sehingga cenderung jauh lebih laris dibandingkan rekannya Sukuk Tabungan yang non-tradeable. Meski demikian, ini tidak serta membuat DJPPR berpotensi mengeluarkan lebih banyak tipe SR.

Menurut Luky, managemen instrumen utang yang tidak bisa diperdagangkan lebih mudah dan berisiko lebih rendah bagi pemerintah. Sehingga DJPPR mengeluarkan lebih banyak tipe ST sebanyak empat seri dan SR hanya satu seri tahun ini.

"ST itu sifatnya tabungan tapi sifatnya hold to maturity atau ditahan, sehingga manajemennya lebih gampang, dari tingkat resiko juga lebih rendah buat pemerintah," kata dia.

Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR, Dwi Irianti Hadiningdyah juga menyampaikan diversifikasi instrumen membawa kemudahan bagi investor ritel untuk memilih. Semua fitur dibuat ritel sentris sehingga diharapkan dapat menarik minat lebih banyak masyarakat.

"Kalau ada penambahan investor individu kedepannya dapat membantu menjaga kestabilan perekonomian," kata dia.

Dwi menambahkan pemerintah tidak bisa membatasi kepemilikan asing. Karena keberadaan mereka juga bagus buat menurunkan yield atau imbal hasil instrumen pemerintah. Selain itu menjaga kestabilan mata uang. 

SVP Intermediary Business PT Schroder Investment Management Indonesia, Adrian Maulana mengatakan basis investor ritel Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara maju. Ia mencontohkan Jepang yang memiliki hutang hampir 200 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sementara Indonesia masih 30,12 persen.

"Meski demikian, mereka masih baik-baik saja karena sumber hutang mereka adalah masyarakatnya sendiri," kata Adrian.

Menurutnya, basis investor Indonesia berada di kisaran hanya 900 ribu-1,1 juta akun atau belum mencapai satu persen populasi. Sementara negara maju bisa mencapai 20 persen dari total populasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement