REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai upaya pembalasan di bidang perdagangan antarnegara dalam kerangka WTO atau retaliasi terhadap Uni Eropa atas diskriminasi sawit merupakan langkah yang tepat.
Menurut dia, retaliasi perlu dilakukan untuk meningkatkan daya tawar Indonesia. "Harus ada retaliasi terhadap upaya Uni Eropa menghambat produk-produk dari Indonesia," kata Eko, kemarin.
Eko mengatakan, kebijakan proteksionisme Uni Eropa merupakan upaya untuk melindungi produk minyak nabati dari kawasan tersebut, apalagi produk sawit mempunyai tingkat produktivitas dan efisiensi yang lebih tinggi.
Karena itu, meski retaliasi perdagangan bisa menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak, namun tanpa ada upaya perlawanan tersebut, diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa akan makin kuat. "Jadi retalisasi harus ada upaya untuk membalas. Kalau kita diam, nanti makin menjadi,” imbuh Eko.
Eko juga mengingatkan pentingnya penyusunan langkah retaliasi, salah satunya dalam memilih pembatasan produk impor, agar bisa memberikan sinyal yang kuat bagi Uni Eropa. Barang tersebut, menurut dia, tidak harus merupakan produk berteknologi tinggi, tapi juga bisa berupa produk makanan minuman.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kebutuhan produk itu di Tanah Air. Sebab, apabila retaliasi dilakukan tanpa pertimbangan yang matang bisa mendorong maraknya penyelundupan.
Eko berharap retaliasi diikuti oleh perlawanan lunak seperti memperbanyak kajian dan riset sebagai basis argumentasi dalam membela industri minyak sawit. Selama ini, langkah tersebut dilakukan oleh Uni Eropa dalam mendiskriminasi industri sawit dan menganggap komoditas itu berdampak negatif kepada lingkungan.
Dengan adanya riset dan kajian yang cukup untuk membela industri sawit, maka akan tercipta ruang untuk adu pendapat dan membuka peluang masyarakat negara maju untuk menerima minyak sawit.
Direktur Eksekutif Apindo Danang Girindrawardana menyetujui rencana retaliasi yang akan dilakukan pemerintah, karena bisa membuat Uni Eropa berpikir ulang untuk mencekal produk sawit.
Menurut dia, Indonesia juga bisa memperoleh barang impor dari kawasan lain, apabila upaya itu benar-benar direalisasikan untuk meningkatkan nilai tawar. "Indonesia masih memiliki negara lain yang lebih bersahabat untuk mendapatkan penggantinya," kata Danang.
Ia menambahkan berbagai produk dari Uni Eropa yang dapat diboikot antara lain minuman beralkohol dan produk transportasi teknologi tinggi. "Kami yakin itu akan baik untuk keseluruhan ekonomi Indonesia," tegasnya.