Selasa 16 Apr 2019 16:10 WIB

Produk Lokal Kalah Saing dengan Cina di Pasar Nontradisional

Pemerintah perlu memastikan produk unggulan diterima oleh pasar nontradisional.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Aktivitas ekspor impor
Foto: Republika/Prayogi
Aktivitas ekspor impor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menilai, masih banyak yang harus dilakukan pengusaha dan pemerintah untuk dapat memperluas akses pasar non tradisional. Khususnya, memastikan potensi produk unggulan Indonesia dapat diterima oleh masing-masing pasar hingga penyelesaian tarif yang masih tinggi. 

Shinta menjelaskan, daya saing produk Indonesia yang masih rendah menjadi salah satu persoalan untuk meningkatkan kinerja ekspor nonmigas Indonesia ke pasar nontradisional. Cina dan Vietnam merupakan dua negara pesaing terbesar Indonesia dalam hal ini. 

Baca Juga

"Termasuk dalam masuk ke pasar Afrika dan Amerika Latin," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (15/4). 

Banyak faktor yang mendasari daya saing produk Indonesia masih terbilang rendah. Di antaranya, Indonesia belum memiliki perjanjian dagang bebas (free trade agreement/ FTA) dengan negara yang masuk dalam pasar non tradisional. Dampaknya, harga produk lokal sulit bersaing dengan produk negara lain yang sudah memiliki FTA terlebih dahulu. 

Shinta menambahkan, pemerintah harus segera memperluas perjanjian dagang dengan negara-negara nontradisional, termasuk melalui Preferential Trade Agreement (PTA). Sebab, saat ini, produk Indonesia banyak dikenakan bea impor yang tinggi, sehingga beberapa di antaranya harus melalui pihak ketiga. "Dengan PTA, diharapkan mampu mengurangi tarif ini," ucapnya. 

Selain itu, Shinta menambahkan, pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri yang masih harus digenjot. Ketersediaan bahan baku dinilai masih minim, sehingga banyak pengusaha yang harus melakukan impor bahan baku/penolong dan barang modal. Hal ini juga menyebabkan produk jadi Indonesia memiliki harga lebih tinggi dibanding dengan negara yang mempunyai industri manufaktur lebih matang. 

Terlepas dari itu, Shinta menjelaskan, pemerintah bersama pengusaha juga harus bersama melakukan pemetaan produk yang potensial untuk suatu pasar non tradisional. Ini dilakukan agar produk yang diekspor dapat tepat sasaran karena sudah dipastikan memiliki pasarnya. 

Misalnya saja Tunisia. Shinta mengatakan, Indonesia mempunyai potensi besar untuk mengekspor komoditas kopi mengingat budaya masyarakat Tunisia yang gemar minum kopi. "Tapi, kopi Indonesia tidak termasuk produk yang diimpor mereka," ujarnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menjelaskan, industri Indonesia juga perlu meningkatkan pangsa ekspor ke negara maju.

Saat ini, pemerintah hanya fokus ke negara-negara berkembang Asia dan Amerika Latin. "Kalau dilihat tingkat konsumsi dan level income-nya, tidak sebesar negara-negara maju," katanya. 

Salah satu negara yang dimaksud Andry adalah Australia. Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia sudah melakukan penandatanganan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA CEPA) yang harus dimanfaatkan. Termasuk untuk produk TPT yang sedang berkembang dan memungkinkan adanya penurunan tarif impor melalui IA CEPA. 

Senada dengan Shinta, Andry mengakui, saingan berat bagi Indonesia adalah China dengan industri manufaktur yang berkembang pesat. Selain itu, ada Vietnam dengan pertumbuhan Foreign Direct Investment (FDI) manufaktur yang tinggi dibanding dengan Indonesia. 

Pada 2015, FDI Vietnam untuk sektor manufaktur saja tercatat sebesar 16,4 miliar dolar AS. Sedangkan, di tahun yang sama, nilai FDI manufaktur Indonesia hanya 11,7 miliar dolar AS. "FDI Indonesia saat ini sudah mengalami pergeseran dari sektor sekunder (manufaktur) ke sektor tersier (industri jasa)," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement