Senin 15 Apr 2019 15:27 WIB

CORE: Kualitas Neraca Dagang Maret Lebih Baik

Masih dibutuhkan kerja keras untuk mencapai neraca dagang tahun lalu.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
EKSPOR. Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Aceh Besar, Aceh, Selasa (2/4). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Maret 2019 mengalami surplus sebesar 540 juta dolar AS.
Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa
EKSPOR. Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Aceh Besar, Aceh, Selasa (2/4). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Maret 2019 mengalami surplus sebesar 540 juta dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, neraca dagang pada Maret menunjukkan kualitas ekonomi lebih baik dibanding dengan Februari. Meskipun secara nilai atau kuantitas, kedua bulan ini menunjukkan surplus, kualitas ekspor-impor Maret mengalami perbaikan. 

Faisal menjelaskan, neraca dagang Februari menunjukkan penurunan pada impor maupun ekspor secara month to month (mtm). Hanya saja, karena penurunan impor lebih tinggi dibanding dengan ekspor, terjadi surplus 330 juta dolar AS. Sedangkan, pada Maret, nilai ekspor mengalami kenaikan lebih signifikan sehingga surplus 540 juta dolar AS. "Ini menunjukkan, kualitas neraca dagang kita membaik," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (15/4). 

Baca Juga

Faisal menambahkan, masih dibutuhkan kerja keras untuk mengejar kondisi seperti tahun lalu. Diketahui, nilai ekspor Maret 2019 mengalami penurunan dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu hingga 10,01 persen. Sedangkan, secara kumulatif, ekspor Januari sampai Maret 2019 juga mengalami penurunan 8,5 persen secara year on year (yoy) atau dibandingkan Januari hingga Maret 2018. 

Namun, pemerintah tetap harus memperhatikan impor. Sebab, dilihat dari golongan penggunaan barang, barang konsumsi menunjukkan kenaikan signifikan pada Maret 2019 dibanding dengan Februari 2019. Faisal memprediksi, kenaikan dikarenakan efek menjelang Ramadhan dan Lebaran yang bertujuan menjaga kestabilan stok dan harga di pasaran. "Ini terlihat dari salah satu golongan barang yang mengalami kenaikan impor adalah serealia atau bahan pangan," katanya.

Sementara itu, dari sisi ekspor, lebih banyak didominasi barang tambang. Secara bulanan, kenaikan ekspornya menyentuh 31 persen, lebih kecil dibanding dengan manufaktur yang hanya sembilan persen. Faisal menjelaskan, pemerintah harus mewaspadai dominasi ini mengingat produk tambang lebih banyak dikendalikan oleh harga di pasaran global. Dampaknya, cenderung rentan dan tergantung terhadap kondisi internasional. 

Faisal mengingatkan, saat ini, kondisi perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan Cina sudah memasuki tahapan gencatan senjata. Artinya, tekanan global terhadap ekonomi Indonesia sudah mulai mereda. Kini, ekonomi global kembali memanas akibat perang dagang Uni Eropa (UE) dengan AS yang sama-sama hendak mengenakan bea impor terhadap produk tiap negara. "Jadi, artinya, tekanan itu belum selesai," katanya. 

Selain itu, pemerintah juga harus perlu memantau kinerja di bulan-bulan berikutnya. Apakah surplus ini akan berkelanjutan atau semata faktor politik menjelang pemilu. Misalnya dengan menunda impor beberapa komoditas atau produk untuk memperbaiki kinerja neraca dagang sesaat. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Maret 2019 mengalami surplus sebesar 540 juta dolar AS. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, kondisi ini berasal dari non migas yang mengalami surplus 988 juta dolar AS, meskipun migasnya masih defisit 448 juta dolar AS. 

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, pada Maret 2019, nilai ekspor Indonesia mencapai 14,03 miliar dolar AS. Apabila dibanding dengan Februari lalu, nilainya mengalami peningkatan sebesar 11,71 persen. "Impor juga mengalami kenaikan secara mtm hingga 10,31 persen, di mana Maret ini adalah 13,49 miliar dolar AS," tuturnya  dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/4). 

Sementara itu, apabila digabungkan antara Januari hingga Maret 2019, neraca dagang Indonesia mengalami defisit. Namun, angkanya tidak besar, yakni hanya 190 juta dolar AS. Apabila dilihat penyebabnya, non migas mengalami surplus 1,15 miliar dolar AS, sedangkan migas defisit 1,34 miliar dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement