Rabu 10 Apr 2019 08:18 WIB

IMF Pangkas Perkiraan Pertumbuhan Global 2019

Tingkat pertumbuhan negara emerging market diperkirakan turun 4,4 persen pada 2019

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dana Moneter Internasional (IMF) pada Selasa (9/4) menurunkan perkiraan pertumbuhan global untuk 2019 menjadi 3,3 persen dalam laporan World Economic Outlook (WEO) yang baru dirilis. Angka perkiraan tersebut turun 0,2 poin persentase dari estimasi pada Januari.

IMF mengatakan ekonomi dunia menghadapi risiko-risiko penurunan yang disebabkan oleh ketidakpastian potensial dalam ketegangan perdagangan global yang sedang berlangsung, serta faktor-faktor spesifik negara dan sektor lainnya. Proyeksi 3,3 persen untuk 2019 adalah 0,3 poin persentase di bawah angka 2018, dan diharapkan tumbuh kembali menjadi 3,6 persen pada 2020.

Baca Juga

Proyeksi laju pertumbuhan negara-negara maju adalah 1,8 persen untuk 2019 dan 1,7 persen untuk 2020. "Keduanya di bawah tingkat dua persen-plus yang tercatat dalam dua tahun sebelumnya," menurut laporan WEO.

Untuk negara-negara emerging market dan negara-negara berkembang, IMF memperkirakan tingkat pertumbuhan turun menjadi 4,4 persen untuk 2019, atau 0,1 poin persentase lebih rendah dari pada 2018. IMF juga memprediksi angka pertumbuhan akan pulih ke tingkat 4,8 persen pada 2020, menyamakan hasil 2017.

Kepala ekonom IMF Gita Gopinath menulis dalam sebuah posting di blog bahwa proyeksi pelambatan pada 2019 adalah 'berbasis luas'."Ini mencerminkan revisi negatif untuk beberapa ekonomi utama termasuk kawasan euro, Amerika Latin, Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia," kata Gopinath.

Hilangnya momentum pertumbuhan, kata Gopinath, berasal dari paruh kedua tahun 2018, ketika ekonomi dunia dilanda 'ekspansi global yang melemah secara signifikan'. Laporan WEO mengatakan pertumbuhan global tetap kuat di 3,8 persen di paruh pertama 2018, tetapi turun menjadi 3,2 persen di semester kedua.

Gopinath menyalahkan situasi sebagian besar pada ketegangan perdagangan global, tekanan ekonomi makro di Argentina dan Turki, gangguan pada sektor otomotif di Jerman, dan pengetatan keuangan bersamaan dengan normalisasi kebijakan moneter di negara-negara maju yang lebih besar.

Sehubungan dengan pemulihan yang dirasakan pada 2020, ekonom mengatakan itu "tidak pasti," menambahkan bahwa itu didasarkan pada asumsi bahwa "rebound terjadi di negara-negara emerging market dan negara-negara berkembang."

Gopinath mengatakan kenaikan kecil didukung oleh kebijakan moneter akomodatif yang signifikan dari ekonomi-ekonomi utama. Selain juga dimungkinkan oleh tidak adanya tekanan inflasi meskipun tumbuh dekat potensinya.

Dia juga mengutip pergeseran ke arah "sikap yang lebih akomodatif" dalam kebijakan bank sentral Amerika Serikat, Uni Eropa (UE), Jepang dan Inggris, ditambah China meningkatkan stimulus fiskal dan moneternya, serta pandangan positif perjanjian AS-China untuk menyelesaikan sengketa perdagangan mereka.

Respons kebijakan ini, kata Gopinath, telah membantu membalikkan kondisi keuangan yang semakin ketat di berbagai negara, menampilkan tren yang sedang berlangsung di negara-negara emerging market. "Seperti dimulainya kembali aliran portofolio, penurunan biaya pinjaman, dan penguatan relatif mata uang mereka terhadap dolar AS," tuturnya.

Gopinath mengatakan pada konferensi pers pada Selasa (9/4) bahwa ruang kebijakan moneter bervariasi di berbagai negara, dan bagi banyak negara maju masih terbatas. "Kami memperkirakan akan melihat alat kebijakan moneter yang tidak konvensional digunakan, misalnya, di kawasan euro," kata dia, menambahkan bahwa tekanan inflasi tetap rendah adalah "plus" yang akan membuat kebijakan moneter mungkin lebih akomodatif.

Setelah tahun 2020, laporan tersebut memprediksikan bahwa pertumbuhan global akan relatif tinggi sekitar 3,6 persen dalam jangka menengah. Laporan WEO memperkirakan tingkat pertumbuhan di zona euro menjadi 1,3 persen pada 2019 dan 1,5 persen pada 2020, keduanya lebih rendah dari hasil 2018 dan 2017.

Risiko-risiko penurunan di seluruh Uni Eropa meliputi periode berlarut-larut dari kenaikan imbal hasil obligasi di Italia yang akan membebani aktivitas ekonomi dan memperburuk dinamika utang, meningkatnya kemungkinan Inggris meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan, serta "hasil pemilihan Parlemen Eropa yang menunda atau membalikkan kemajuan pada penguatan arsitektur kawasan euro," menurut laporan itu.

"Brexit tanpa kesepakatan yang sangat mengganggu rantai pasokan dan meningkatkan biaya perdagangan berpotensi memiliki dampak negatif besar dan bertahan lama pada kesejahteraan ekonomi Inggris dan Uni Eropa," kata laporan itu.

Ditanya pada konferensi pers untuk mengomentari keadaan ekonomi Italia, Gopinath mengatakan pertumbuhan negara Eropa itu pada paruh kedua 2018 sangat lemah, dan kelemahan itu terbawa hingga 2019.

Tingkat utang yang tinggi serta biaya pinjaman negara akan tercermin dalam investasi yang lebih lemah dan akan tetap menjadi keprihatinan bagi Italia, "terutama mengingat bahwa pertumbuhan di Italia lemah tidak hanya secara riil, tetapi secara nominal," katanya.

Berkenaan dengan Amerika Serikat, ia memproyeksikan bahwa ekonomi akan tumbuh sebesar 2,3 persen pada 2019, dan berkembang pada tingkat yang lebih rendah sebesar 1,9 persen pada 2020.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement