Rabu 03 Apr 2019 11:30 WIB

AB2TI: Penurunan Harga Gabah Sudah Lampaui Biaya Produksi

Hasil kajian di 26 daerah produsen menunjukkan biaya produksi gabah Rp 4.286 per kg

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Petani sedang memilah-milah gabah.
Foto: Humas Kementran.
Petani sedang memilah-milah gabah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) mencatat, harga gabah yang terus menurun seiring musim panen raya sudah melampaui biaya produksi. Meskipun penurunan harga masih berada di atas harga acuan pemerintah, petani tetap merugi. Di sisi lain, daya serap penggilingan dan Bulog melemah.

Berdasarkan data yang dikumpulkan AB2TI dari 46 kabupaten di 12 provinsi sentra beras, harga gabah kering panen (GKP) pada bulan Maret 2019 sebesar Rp 3982 per kilogram (kg). Harga turun 539 per kg dari posisi Februari yang masih sebesar Rp 4521 per kg.

Baca Juga

Data tersebut jauh di bawah data BPS. Pada Maret, BPS mencatat rata-rata GKP tingkat petani di seluruh provinsi dihargai Rp 4604 per kg, atau turun Rp 510 per kg. Ketua Umum AB2TI, Dwi Andreas Santosa, mengingatkan pemerintah agar hati-hati dalam mengatasi anjloknya harga gabah. Sebab, penurunan sebesar Rp 500 per kg sudah sangat besar dan merugikan petani.

“Penurunan ini sudah terlalu dalam dan biaya produksi sudah meningkat tajam,” kata Andreas kepada Republika.co.id, Rabu (3/4).

Andreas menjelaskan, pada Januari 2018, hasil kajian AB2TI di 26 kabupaten produsen beras menunjukkan biaya produksi gabah sudah mencapai Rp 4.286 per kg. Bulan April ini, pihaknya akan kembali mengkaji perkembangan biaya produksi yang harus dikeluarkan petani.

Namun, Andreas memastikan biaya produksi naik dan berada di kisaran Rp 4.350 – Rp 4.400 per kg. Dua komponen terbesar yang memicu kenaikan biaya produksi yakni biaya sewa lahan dan upah buruh tani. Ia menilai, khusus pada kenaikan upah buruh tani bukan berarti masalah. Sebaliknya, harus disyukuri karena daya beli buruh tani jauh lebih rendah daripada buruh di sektor lain.

“Kenaikan biaya produksi di tingkat usaha tani sudah seharusnya disikapi dengan kenaikan harga acuan yang wajar. Buat apa ada HPP kalau sudah di bawah biaya produksi?” ujarnya.

Ia menuturkan, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) GKP sebesar Rp 3.700 yang diamanatkan dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 sudah tidak layak. Sekalipun pemerintah menerapkan kebijakan fleksibilitas harga acuan menjadi Rp 4.070 per kg, harga itu masih di bawah biaya produksi.

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor itu mengatakan, dari hasil rangkuman data 18 tahun terakhir, kenaikan HPP tidak berpengerah terhadap kenaikan harga beras yang memicu inflasi pangan. Sebab, inflasi pangan sangat luas serta dipicu oleh banyak faktor.

Menurut Andreas, dari kajian AB2TI, HPP GKP yang wajar di tingkat petani saat ini sekitar Rp 4.500 per kg. Dari harga itu, harga beras medium akan berada di kisaran Rp 10.500 per kg.

Adapun saat ini, dengan HPP GKP sebesar Rp 3.700 per kg, Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium ditetapkan antara Rp 9.450 per kg hingga Rp 10.250 per kg tergantung wilayah. Namun, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat rata-rata harga beras medium kualitas I sudah mencapai Rp 11.850 dan kualitas II Rp 11.650.

“Apa efeknya kalau harga acuan gabah dinaikkan? Tidak ada kaitan antara HPP gabah dan HET beras. Saya sudah sampaikan ke pemerintah,” ujarnya.

Sementara ini, Andreas menilai hal yang paling realistis dilakukan yakni mendorong perusahaan penggilingan padi besar untuk menyerap gabah petani. Menurutnya, keberadaan Satgas Pangan sejak 2017 silam menimbulkan kekhawatiran pengusaha jika memiliki banyak stok di gudang penyimpanan. Sebab, dapat diklaim sebagai penimbun beras.

Sedangkan perusahaan penggilingan padi kecil sedang tidak bisa diharapkan. Alasannya, rata-rata penggilingan kecil bermitra dengan Bulog untuk menyuplai beras. Di satu sisi, Bulog tidak dapat memaksimalkan serapan seiring penerapan sistem Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Sebagaimana diketahui, kebijakan itu membuat beras yang dimiliki Bulog tidak lagi pasar yang pasti seperti era Beras Sejahtera (Rastra).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement