REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pergerakan harga gabah di tingkat petani sejumlah daerah terus mengalami penurunan. Bukan hanya diakibatkan oleh musim panen raya, kualitas gabah turut memburuk akibat musim hujan yang masih berlangsung.
Di sisi lain, petani masih bergantung pada pengepul dan tengkulak. Di Jawa Timur, misalnya, rata-rata harga gabah kering panen (GKP) anjlok hingga Rp 3.000-Rp 3.400 per kilogram (kg). Harga itu jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) GKP di tingkat petani sebesar Rp 3.700 per kg maupun instrumen fleksibilitas 10 persen sebesar Rp 4.070 per kilogram.
Sekretaris Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Bunga Mekar Tani di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Kusnan, mengatakan, penurunan harga terjadi sejak dua pekan terakhir.
Ia menjelaskan, harga GKP Rp 3.000 per kilogram terdapat di Banyuwangi, Probolinggo, dan Jember. Di Lamongan, Bojonegoro, Ngawi, Magetan, Madiun, dan Tuban, GKP dihargai antara Rp 3.200-Rp 3.400 per kg.
“Wilayah selatan Jatim belum mulai panen. Kemungkinan akan turun lagi karena ini mulai memasuki puncak panen,” kata Kusnan saat dihubungi Republika.co.id dari Jakarta, Senin (1/4).
Kusnan mengakui, sebelumnya, rata-rata harga pasaran terendah GKP di Jatim Rp 4.200 per kg. Oleh karena itu, posisi harga kali ini merupakan yang terendah dalam beberapa tahun terakhir. Ia mengakui, sekalipun kualitas gabah dalam kondisi baik, harga tetap rendah.
Selain itu, kondisi petani makin sulit akibat biaya produksi yang terus meningkat. Kusnan mengatakan, naiknya biaya produksi terutama dari upah buruh tani dan biaya sewa traktor.
Ketua Gapoktan Truni Makmur, Kabupaten Lamongan, Abdul Hadi mengakui, anjloknya harga gabah karena kualitas yang menurun. GKP yang dihargai Rp 3.000 per kilogram memiliki kadar air hingga 40 persen.
Petani, menurut dia, bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi antara Rp 3.600 dan Rp 4.100 per kg asalkan dipanen dengan mesin. “Harga memang bisa normal kalau pakai combine harvester, bukan manual. Itu sebabnya penggunaan alsintan harus terus didorong agar harga GKP di petani lebih baik,” ujarnya.
Sayang, Abdul menilai, bantuan alat mesin pertanian (alsintan) yang dibagikan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) saat ini merupakan kualitas tiga dan empat. Menurut dia, alat itu kurang memadai untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi usaha pertanian.
Alhasil, bantuan itu justru menjadi beban moriil bagi para petani karena tidak hasil mekanisasi dengan alsintan tidak optimal.
Sementara itu, di Provinsi Jawa Barat, Ketua Gerakan Petani Nusantara Jawa Barat Deni Nurhadiansyah mengatakan, harga GKP di petani sudah turun ke level Rp 3.500 hingga Rp 3.800 per kg. Ia menilai, penurunan harga itu terjadi kurun waktu dua pekan. Dibanding musim panen 2017, harga terendah gabah masih sekitar Rp 4.200 per kg.
“Sekitar 20 hari yang lalu harga masing Rp 5.300–Rp 5.500 per kg. Ini yang membuat kami heran. Penurunan ini terlalu drastis,” kata Deni.
Deni yang juga menjadi petani di Kabupaten Subang mengakui, rata-rata petani menjual gabah langsung ke pabrik. Turunnya harga gabah yang terjadi saat ini, menurut dia, terjadi secara alamiah. Pihaknya tak bisa menjelaskan penyebab utama yang membuat harga gabah anjlok.
Sementara, Perum Bulog belum menyerap gabah seagresif tahun-tahun sebelumnya. “Sudah dua tahun Bulog tidak menyerap dalam jumlah besar,” ujar dia.
Kepala Bagian Humas Perum Bulog Teguh Firmansyah mengatakan, Bulog siap menyerap gabah dari petani sesuai patokan HPP GKP maupun fleksibilitas harga 10 persen asalkan kualitas gabah dari petani juga sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015. Instruksi itu tetap menjadi dasar Bulog dalam melakukan penyerapan gabah dari petan.
“Rata-rata penurunan harga gabah saat ini masih di atas HPP. Kalau harga turun hingga di bawah HPP, kualitasnya yang tidak sesuai,” ujar Teguh.
Sementara ini, ia mengatakan, realisasi penyerapan gabah setara beras sudah mencapai 73 ribu ton dari total target serapan gabah 2019 sebanyak 1,8 juta ton. Menurut dia, rendahnya realisasi penyarapan sepanjang kuartal I 2019 ini cukup wajar. Sebab, berdasarkan tren tiga tahun terakhir, penyerapan pada tiga bulan pertama masih rendah akibat belum masuknya masa panen.