Selasa 26 Mar 2019 17:42 WIB

Indonesia Wajib Percepat Reformasi Struktural

Perlambatan yang terjadi di negara maju bisa jadi potensi di negara berkembang.

Rep: Dedy Darmawan Nasution / Red: Friska Yolanda
Aktivitas ekspor-impor
Foto: Republika/Prayogi
Aktivitas ekspor-impor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sinyal perlambatan ekonomi Amerika Serikat (AS) tengah membayangi pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia yang sangat bergantung kepada AS dinilai harus segera dibenahi. Pembenahan itu yakni melalui reformasi struktural ekonomi nasional secara menyeluruh.

Ekonomi sekaligus Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan, Amalia Dininggar Widyasanti, mengatakan, reformasi struktural menjadi salah satu upaya yang sedang dan akan terus dilakukan.

Baca Juga

“Kondisi ekonomi global saat ini sedang tidak menentu. Risiko di mana-mana, tidak hanya dari AS, tapi juga dari Eropa dan Cina yang juga tengah melambat,” kata Amalia saat ditemui di Jakarta, Selasa (26/3).

Menurut dia, di tengah tren pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus membaik sejak 2014 silam, sudah waktunya pemerintah melakukan reformasi struktural secara total. Tanpa perbaikan struktur ekonomi, pertumbuhan akan tetap stagnan di level 5 persen.

Tahun ini, Amalia menuturkan, Bappenas berfokus pada pembenahan sektor industri. Sebab, berkaca pada pembenahan di sektor tambang mineral, diversifikasi komoditas mentah yang diekspor menjadi barang jadi memberikan nilai tambah yang signifikan. Itu sebabnya, diversifikasi menjadi salah satu tolok ukur dalam reformasi struktural.

Selanjutnya, yakni reformasi di bidang sumber daya manusia. Pola low creativity harus diubah menjadi high creativity. Sebab, hal itu berkaita erat dengan inovasi yang dapat dilakukan untuk mendorong perbaikan ekonomi Indonesia.

Terakhir, yakni reformasi teknologi. “Teknologi ini jangan dijadikan sebagai ancaman, tapi peluang bagi Indonesia untuk bisa lebih maju,” kata dia.

Amalia mengatakan, fokus pada reformasi struktural jauh lebih penting daripada memikirkan menyibukkan diri dengan adanya sinyal perlambatan ekonomi AS. “Memang, harus diakui, reformasi struktural itu tidak bisa selesai dalam waktu satu hingga dua tahun,” ujarnya.

Ia pun menuturkan, reformasi struktural ekonomi Indonesia ke depan sedang diatur dalam Rancangan Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam RPJMN itu, ia mengakui, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5,4 persen hingga 6,17 persen atau rata-rata di posisi 5,7 persen.

Angka itu, kata dia, bisa dicapai Indonesia pada tahun 2022-2024. Asalkan, reformasi struktural terus dilakukan secara berkelanjutan.

Sementara itu, ekonom Bank DBS, Masyita Crystallin, mengatakan, perlambatan yang terjadi pada negara-negara maju, dalam jangka pendek, lebih berpengaruh terhadap volatilitas di pasar keuangan. Namun, ia menilai, justru perlambatan yang terjadi pada negara maju bisa menjadi potensi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Khususnya, untuk bisa mendapatkan aliran modal asing.

Adapun pada sektor riil, ia menuturkan, akan berdampak pada pengurangan permintaan barang dan jasa dari negara maju kepada negara berkembang. Hanya saja, menurut Masyita, hal itu tidak akan langsung terjadi seketika.

Sebab, bagaimanapun, kondisi fundamental ekononinegara menjadi faktor terbesar yang mempengaruhi situasi riil ekonom. Termasuk, dalam membentuk pandangan investor sebelum melakukan penanaman modal secara riil. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement