REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, keputusan bank sentral Amerika Serikat The Fed untuk mempertahankan suku bunga menjadi sebuah indikator bahwa perekonomian secara global sedang dalam kondisi tidak baik. Hal ini terlihat dari perlambatan ekonomi sejumlah negara, termasuk Cina sebagai negara ekonomi di dunia.
Darmin belum dapat memastikan keputusan The Fed tersebut dapat menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Tapi, kebijakan mempertahankan suku bunga setidaknya mampu menstabilkan tekanan dan gejolak global sepanjang tahun.
"Kalau terus bergejolak, tidak baik juga," ujarnya ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (21/3).
Dilansir CNN, The Fed mempertahankan suku bunga acuan pada Rabu (20/3) waktu setempat. Keputusan ini sesuai dengan ekspektasi pasar. Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) memutuskan kebijakan ini guna mendorong lapangan kerja dan stabilitas harga.
FOMC memutuskan mempertahankan Fed Fund Rate di kisaran 2,25 persen hingga 2,50 persen. FOMC melihat ekspansi berkelanjutan dari kegiatan ekonomi, kondisi pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi mendekati target, yakni dua persen.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, keputusan The Fed memberikan dua sinyal, positif dan negatif. Positifnya, ketika The Fed menahan suku bunga, maka investor akan melepas aset berdenominasi dollar. "Diketahui, dollar index sepekan melemah 0,76 persen," tuturnya.
Bhima menambahkan, investor mulai berburu aset di negara berkembang khususnya Indonesia. Inflow asing yang tercermin dari nett buy di pasar modal Indonesia tercatat Rp 1,32 triliun dalam sepekan terakhir. Rupiah juga semakin menguat 0,98 persen selama sepekan ini.
Negatifnya, Bhima menuturkan, Fed yang dovish menjadi indikator adanya risiko ekonomi secara global, tidak hanya AS, di tahun ini. Efek perang dagang membuat serapan tenaga kerja dan inflasi di AS berada di bawah target. Jepang, Cina dan kawasan Eropa pun mengalami tekanan.
Prospek ekonomi dunia semakin diperparah dengan ketidakpastian Brexit. Bagi Indonesia yang 20,9 persen perekonomiannya bergantung pada ekspor, kondisi pelemahan permintaan global akan tidak menguntungkan neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
Bhima mengatakan, kinerja ekspor tahun ini diperkirakan akan tumbuh enam persen atau melambat dibanding tahun sebelumnya. Sektor yang berkaitan ekspor rentan tertekan. "Jadi, kita harus bersiap antisipasi kebijakan untuk stimulus sektor-sektor yang terkena perlambatan global," ucapnya.