REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, total utang pemerintah pusat hingga 28 Februari 2019 mencapai Rp 4.566 triliun. Angka tersebut naik Rp 67,66 triliun dibanding dengan bulan sebelumnya, yaitu Rp 4.498 triliun. Sementara itu, secara tahunan (year on year/yoy), kenaikan utang menyentuh Rp 531 triliun, di mana utang pemerintah pada Februari 2018 adalah Rp 4.034 triliun.
Pada bulan lalu, utang pemerintah setara dengan 30,33 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, rasio utang masih dalam taraf aman mengingat besaran utang pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara maksimum sebesar 60 persen dari PDB. "Ini pengaruh dari strategi frontloading yang kami terapkan," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Selasa (19/3).
Frontloading merupakan istilah yang diaplikasikan untuk strategi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dalam jumlah banyak pada awal tahun. Dengan upaya ini, penerbitan utang sampai dengan akhir tahun menjadi lebih sedikit. Strategi frontloading dilakukan mengingat tahun 2019 adalah tahun yang tidak terprediksi, di mana ketidakpastian pasar merupakan tantangan yang harus diwaspadai pemerintah dalam mengelola keuangan negara.
Dengan frontloading, pemerintah mampu mengantisipasi ketidakpastian di akhir tahun akan yield atau imbal hasil yang tinggi. Selain itu, Sri mengatakan, strategi ini menjadi upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri dengan lebih fokus pada pendalaman pasar dalam negeri. "Arah kebijakan pembiayaan utang akan disesuaikan dengan defisit APBN, di mana pembiayaan melalui utang akan terus berkurang seiring mengecilnya defisit APBN," ujarnya.
Sepanjang tahun ini, pemerintah masih mengutamakan sumber pembiayaan dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini seiring dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan porsi penerbitan SBN berdenominasi asing dan meningkatkan porsi penerbitan SBN berdenominasi rupiah. Pada tahun ini pula, akan terdapat peningkatan signifikan untuk obligasi ritel yang rencananya diterbitkan hingga Rp 60 triliun sepanjang 2019.
Hingga akhir Februari 2019, realisasi pembiayaan untuk SBN mencapai Rp 197,10 triliun atau 50,7 persen dari target yang ditetapkan pada APBN 2019, yakni Rp 388,9 triliun. Realisasi tersebut lebih tinggi dibanding dengan Februari tahun lalu karena dijalankannya strategi frontloading. Selain itu, ada kegiatan pembayaran SBN yang telah jatuh tempo di tahun 2019 atau refinancing.
Penerbitan SBN yang cukup tinggi di awal tahun juga dilakukan guna memperkuat cadangan devisa mengingat terjadi penurunan. Cadangan devisa dibutuhkan untuk mendukung ketahanan sektor ekonomi dan menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Sementara itu, penarikan pinjaman luar negeri mencapai Rp 7,6 triliun atau 12,73 persen dari target. Di sisi lain, untuk pinjaman dalam negeri, belum ada kegiatan penarikan serta pembayaran cicilan. "Dengan demikian, secara keseluruhan, pembiayaan utang telah mencapai Rp 193,87 triliun atau 55,22 persen dari target APBN 2019 yang terdiri dari SBN dan pinjaman luar negeri," kata Sri.
Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, strategi frontloading yang dilakukan pemerintah perlu dibatasi dan jangan terlalu agresif. Sebab, upaya ini menyedot dana dari pasar yang seharusnya digunakan untuk sektor riil.
Dengan strategi frontloading, Bhima menjelaskan, dampaknya lebih signifikan terhadap likuiditas perbankan, di mana terjadi perebutan dana. Deposan memindahkan sebagian dana untuk membeli SBN karena bunganya yang mencapai sekitar 7,9 hingga delapan persen. "Sedangkan, bunga deposito lima sampai enam persen. Likuiditas bank yang mengetat akan mengganggu intermediasi perbankan," katanya.