REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI – Ketua Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Sub 1 Cikembar Slamet Wuryadi mengatakan, prospek bisnis puyuh sangat menjanjikan karena belum diisi oleh korporasi. Selain itu, biaya produksi puyuh jauh lebih ekonomis dibanding biaya produksi ternak daging dan telur ayam.
Dia menjelaskan, produktivitas reproduksi burung puyuh sangat bagus sehingga mendorong tingkat produksi yang tinggi. Pada usia 45 hari, burung puyuh sudah mampu bereproduksi dengan tingkat produksi telur sebanyak satu butir per hari, begitu pun di hari-hari selanjutnya.
“Ternak puyuh ini adalah bisnis yang berkelanjutan, karena burung puyuhnya terus bertelur setiap hari,” kata Slamet kepada wartawan, di Sukabumi, Rabu (13/3).
Jika dihitung secara ekonomis dan nilai gizi, tiga butir telur puyuh seharga Rp 900 sama dengan nilai protein sebutir telur ayam kampung seharga Rp 2.500. Artinya, kata dia, konsumen juga dapat menikmati keuntungan tersendiri dengan mengkonsumsi telur puyuh dibanding telur ayam.
Sebagai perbandingan, suplai telur puyuh program Kartu Jakarta Pintar (KJP) sebanyak 21 juta butir atau sekitar Rp 6,3 miliar. Sedangkan jika dibandingkan dengan jumlah telur ayam sebanyak 600 ton, alokasi anggaran yang harus dikeluarkan berkisar Rp 15 miliar.
“Jadi lebih ekonomis di puyuh, ini peluang,” katanya.
Kendati demikian, pihaknya mengaku belum dapat menyuplai kebutuhan permintaan puyuh baik dari kebutuhan daging maupun telurnya secara nasional. Untuk kebutuhan puyuh di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Banten saja, kata dia, produksi belum mampu menyuplai secara permintaan secara keseluruhan.
Menurutnya, untuk kebutuhan tiga provinsi tersebut, suplai puyuh masih belum dapat dipenuhi di kisaran 13,5 juta butir telur puyuh per minggu. Untuk itu pihaknya mendorong pemerintah untuk membantu pergerakan aktivitas kelompok tani dari segi akses permodalan, bantuan bibit, dan akses pakan yang terjangkau guna menggerakkan sektor ternak puyuh.
Hal itu guna menumbuhkan minat berwirausaha di kalangan milenial. Dia mengatakan, usaha ternak puyuh sangat cocok untuk kalangan milenial, terlebih masih banyak kampanye negatif tentang puyuh yang diklaim memiliki tingkat kalori yang tinggi, sekitar 3640. Dengan hadirnya program Santripreneur dan Kelompok Tani Milenial, dia berharap ada gebrakan masif lewat informasi digital untuk menangkal kampanye negatif puyuh.
“Setelah kita teliti puyuh ini, tingkat kolesterolanya justru sangat rendah. Jauh sekali dari stigma dan kampanye negatif yang disebarkan dunia internasional, terutama oleh General Hospital Singapore,” katanya.
Dokter Hewan dari slamet Quail Farm area Jabodetabek yang juga merupakan anggota tim CSR Indocement, Aris Teguh Wibowo, mengatakan, prospek bisnis puyuh cukup menjanjikan sebab berkelanjutan dan pasarnya cukup terbuka.
“Sebelumnya kami pernah mencoba ternak di bidang komoditas lain, tapi selalu gagal. Hanya puyuh ini saja yang sangat berkelanjutan,” katanya.
Dia menjelaskan, budidaya ternak burung puyuh mulai dari pembibitan, telur, daging, hingga kotoran hewan (kohe) memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Berdasarkan metrik P4S Sub 1 Cikembar, pendapatan rata-rata produksi telur puyuh sehari berkisar 75-80 persen per hari. Dengan produksi harian sekitar 800 butir per hari dengan margin Rp 300, peternak dapat menghasilkan omzet Rp 240 ribu per hari.
Terlebih saat ini, kata dia, burung puyuh mampu dipelihara hingga 18 bulan lamanya. Dia menambahkan, dengan nilai investasi sebanyak Rp 2.250.000 berupa 750 ekor indukan puyuh, dalam waktu 18 bulan para peternak dapat meraup omzet sekitar Rp 22.056.000.
“Tapi dengan catatan, budidaya ternaknya harus dilakukan secara benar. Sehingga nilai gizi dan kekuatan reproduksi burung puyuhnya terus terjaga,” katanya.