Rabu 13 Mar 2019 05:15 WIB

CITA: Insentif Mobil Listrik Lebih Baik Lewat Cukai

Beberapa negara telah mengenakan cukai atas tingkat emisi karbon kendaraan

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Mobil listrik BLITS dan mobil hibrida Kasuari karya ITS dan UBL singgah di Kota Padang, Rabu (5/12), untuk mengisi daya.
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Mobil listrik BLITS dan mobil hibrida Kasuari karya ITS dan UBL singgah di Kota Padang, Rabu (5/12), untuk mengisi daya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, menilai, insentif fiskal untuk mendukung percepatan produksi mobil listrik di Indonesia sebaiknya lewat penerapan cukai. Bukan Pajak Penjualan Nilai Barang Mewah (PPnBM) seperti yang diusulkan oleh Kementerian Keuangan.

Kepada Republika, Yustinus memaparkan, pada prinsipnya, ide memberikan insentif terhadap setiap upaya pengurangan emisi karbon telah menjadi tren global dan dipraktikkan banyak negara maju. Itu sejalan dengan upaya menjaga lingkungan hidup, mengantisipasi dampak perubahan iklim, dan menciptakan lingkungan yang berdaya lanjut bagi ekosistem.

Baca Juga

Namun, dalam praktiknya, beberapa alternatif skema insentif tetap memiliki kelebihan dan kekurangan. Disesuaikan dengan konteks tiap negara.

“Idealnya, skema yang tepat untuk mengurangi emisi karbon kendaraan bermotor dengan mengenakan cukai atas kendaraan bermotor. Ia adalah instrumen yang tepat karena karakteristik objek cukai antara lain konsumsinya harus dibatasi atau dikendalikan karena memiliki dampak negatif,” ujar Yustinus, Selasa (12/3).

Ia mencatat, beberapa negara telah mengenakan cukai atas tingkat emisi karbon dari sebuah jenis kendaraan. Skemanya, semakin rendah emisi, maka cukai semakin rendah.

Penggunaan cukai atas emisi karbon itu sering disebut sebagai double dividend. Sebab, selain mendatangkan penerimaan, juga mendorong kelestarian lingkungan.

Sementara, untuk skema PPnBM, Yustinus menatakan, instrumen tersebut diatur dalam Undang-Undang PPN. Ia bertujuan untuk mengatur konsumsi atas barang yang bersifat mewah demi memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Di sisi lain, Yustinus mengatakan, pelonggaran PPnBM untuk kendaraan ramah lingkungan dapat berpotensi tidak sesuai dengan karakteristik skema PPnBM.

“Misalnya, terhadap kendaraan yang harganya mahal namun berteknologi tinggi dan rendah emisi. Satu-satunya klausul yang dapat digunakan adalah nilai guna bagi masyarakat. Artinya semakin tinggi nilai guna, maka PPnBM semakin rendah, dan sebaliknya,” ujar Yustinus.

Kesulitan lain yakni di hal administrasi. Tingkat emisi yang berbeda-beda akan menimbulkan kerumitan tersendiri. Pada tahap itu, PPnBM punya keterbatasan karena basis pengenaannya adalah harga barang kendaraan, bukan tingkat emisi.

Sebaliknya, lanjut dia, cukai dapat dikenakan secara periodik. “Paling tidak sekurang-kurangnya saat kewajiban menguji emisi dilakukan sehingga lebih menjamin pencapaian tujuan mengendalikan lingkungan,” ujar dia.

Berdasarkan analisis tersebut, Cita menilai, insentif fiskal untuk mendorong pengembangan mobil listrik di Indonesia lebih baik dengan skema cukai. “Mudah diadministrasikan dan lebih tepat sasaran, dibanding pemberian insentif berupa pengenaan PPnBM,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement