Selasa 05 Mar 2019 05:45 WIB

Asbisindo: Model Bisnis BPRS Beda dengan Tekfin

Aset BPRS masih tumbuh 12 persen per November 2018 dibanding tahun sebelumnya.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Karyawati melayani nasabah di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Al Salaam, Jakarta, Rabu (22/3).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Karyawati melayani nasabah di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Al Salaam, Jakarta, Rabu (22/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persaingan dengan platform teknologi finansial atau tekfin menjadi isu di segala lini industri keuangan, termasuk Badan Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Keduanya sama-sama menyasar pembiayaan skala mikro dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Ketua Kompartemen BPR Syariah Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Cahyo Kartiko mengatakan belum ada studi yang menyebut seberapa besar pengaruh tekfin pada industri keuangan. Termasuk pada BPRS, belum terlihat ada penurunan signifikan.

Baca Juga

"Ini belum ada studi yang menunjukan secara detail pengaruh tekfin, jadi kami tidak bisa menyimpulkan, namun demikian kami masih yakin bahwa model bisnis BPRS dengan tekfin itu berbeda," kata dia pada Republika, Senin (4/3).

Sehingga dalam pelaksanaan dan pengembangannya perlu strategi yang beda pula. Cahyo menyadari dalam prakteknya di lapangan, gesekan akan tetap ada sebagai bagian dari cara untuk tetap bertahan dan berkelanjutan.

Namun dalam jangka panjang, keduanya masih memungkinkan untuk sama-sama berjalan beriringan. BPRS sendiri bisa melakukan konsolidasi atau memperkuat jaringan. Hal ini diterjemahkan dalam kerja sama dengan berbagai pihak.

"Saya sangat setuju jika BRPS kolaborasi dengan tekfin," kata dia.

Sejumlah studi menyebut manfaat kehadiran tekfin sebagai lembaga atau alat. Jika sebagai lembaga, ini berpotensi untuk menyebabkan disrupsi dan perlu regulasi yang lebih kokoh menghindari bentrok dengan pemain yang sudah ada.

Namun jika sebagai alat, maka tekfin dapat digandeng untuk mengisi kekosongan atau kekurangan dari industri keuangan eksisting. Sejauh ini, kolaborasi sudah mulai dilakukan terutama di tatanan perbankan umum, baik dengan kerja sama maupun membelinya.

Untuk skala BPRS, Cahyo menyampaikan ada dilema. BPRS tidak diizinkan memiliki saham di perusahaan termasuk tekfin, namun jika harus membeli, maka ada banyak pertimbangan yang harus dilakukan termasuk efisiensi biaya.

Meski demikian, Cahyo optimis kolaborasi kedua industri ini dapat berjalan. Sejumlah cara ekspansi kerja sama bisa dengan tekfin mencari nasabah, menjadi penyalur pembiayaan, pemasaran produk BPRS, hingga membantu tahap penyeleksian nasabah.

"Ada banyak hal yang bisa dilakukan, tinggal goodwill," kata dia.

Secara konsolidasi, Cahyo menyampaikan aset BPRS masih tumbuh 12 persen per November 2018 dibanding tahun sebelumnya. Aset tumbuh menjadi Rp 12,1 triliun dari Rp 10,8 triliun pada November 2017.

Sementara pembiayaan tumbuh sesuai target 15 persen dari Rp 7,7 triliun menjadi Rp 8,9 triliun. Pada 2019, diperkirakan pertumbuhan akan sama menilai kondisi ekonomi yang sulit seperti tahun ini.

"Semoga tahun ini bisa tumbuh 15 persen, karena perekonomian 2018 dan 2019 diproyeksikan tidak jauh berbeda, sama-sama susah," kata dia. Untuk kondisi normal, biasanya BPRS bisa tumbuh hingga 18 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement