REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK -- Suku Baduy yang tinggal di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten masih terkendala memasarkan sarung khas setempat. Padahal, hampir seluruh warga mampu produksi sarung khas Baduy.
Salah seorang UKM perajin sarung asal Baduy bernama Jamal Setiabudi mengatakan, bagi masyarakat suku baduy, menenun sarung merupakan budaya warisan leluhur yang wajib dilestarikan hingga saat ini. Setiap anak berusia sembilan tahun diajarkan bagaimana menenun sarung telah menjadi tradisi.
"Membuat sarung bagi kami merupakan amanah leluhur", kata pria berusia 36 tahun ini.
Bahkan, kata Jamal, di setiap acara sakral adat suku Baduy, memakai sarung merupakan kewajiban yang harus dikenakan. Menurutnya, hampir seluruh orang Baduy mampu membuat dan memproduksi sarung khas Suku Baduy. Bahkan, ada ritual khusus yang dijalankan masyarakat Baduy dalam membuat kain sarung.
Sarung khas Baduy memiliki beberapa motif unggulan. Diantaranya, Samping Poleng, Poleng Hideung (kotak-kotak besar), Poleng Capit Urang (kotak-kotak kecil), hingga motif Janggawari.
"Harga sarung khas Baduy berkisar antara Rp 250 ribu hingga yang termahal Rp 1,7 juta yang motif Janggawari", ucap Jamal yang tinggal di Kampung Kadu Ketug, Kabupaten Lebak.
Usaha sarung miliknya sudah dimulai sejak muda dan turun temurun. Sebanyak 15 orang perajin sarung berada di bawah naungan Jamal yang juga adalah keluarga dekat. Menurutnya, setiap keluarga di Baduy pasti memiliki kemampuan menenun kain sarung, meski sebenarnya mayoritas masyarakat Baduy itu bertani.
"Tapi, kemampuan menenun sarung sudah menjadi tradisi yang takkan mungkin pernah hilang," kata Jamal.
Ia mengakui, masyarakat Baduy tak memiliki kendala dalam memproduksi kain sarung, termasuk dalam menentukan motif dan coraknya. Hanya saja, yang masih menjadi kendala para perajin kain sarung khas Baduy adalah pemasaran.
"Saat ini, kami benar-benar kebingungan bagaimana cara memasarkan produk sarung tenun khas Baduy ini," ujarnya.
Pihaknya mendapat binaan dari Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten. Ia menambahkan, setiap acara besar di kabupaten atau provinsi, perajin produk sarung tenun khas Baduy selalu diundang.
Hanya saja, frekuensinya masih terbilang minim. Ikut pameran-pameran produk UKM di sana, ya paling satu tahun sekali," katanya.
Namun para perajin sarung khas Baduy ini terus memproduksi setiap harinya. Biasanya, satu orang perajin mampu memproduksi satu sarung dalam sepekean.
"Saya saja memiliki 15 orang, bisa dihitung berapa produksi kami dalam sebulan. Pernah satu waktu, produk kami menumpuk karena kami kebingungan dipasarkan kemana dan bagaimana caranya," kata Jamal.
Meski begitu, Jamal mengaku dirinya sedang belajar pemasaran melalui sistem online. Sayangnya, listrik juga menjadi kendala di kampungnya.
"Kampung kami tidak mengenal listrik. Bila ingin mencharge HP, kami harus berjalan jauh menuju terminal. Kami sepertinya butuh pelatihan mengenai pemasaran online," ujarnya.
Selain kendala pemasaran, ia mengatakan, para perajin sarung asal Baduy ini juga tengah memikirkan suatu brand yang mampu menguatkan eksistensi sarung tenun khas Baduy.
"Kami masih mencari satu nama yang pas dan cocok untuk menggambarkan brand produk sarung tenun khas Baduy," kata Jamal.