REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak berjangka naik sekitar dua persen pada akhir perdagangan Rabu (27/2), setelah persediaan minyak mentah AS secara tak terduga anjlok. Selain itu, penurunan harga minyak juga akibat Arab Saudi mengabaikankan komentar-komentar dari Presiden AS Donald Trump yang berusaha menjaga harga minyak agar tidak naik.
Stok minyak mentah AS turun 8,6 juta barel pada pekan yang berakhir 22 Februari dari minggu sebelumnya. Data Badan Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan ekspektasi kenaikan 2,8 juta barel.
Penurunan, yang menghentikan kenaikan lima pekan berturut-turut, adalah karena impor minyak mentah melambat ke rekor terendah 2,6 juta barel per hari. Ini terjadi setelah pemotongan produksi OPEC dan sanksi-sanksi Amerika Serikat terhadap Venezuela.
Minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April naik 1,44 dolar AS atau 2,6 persen. Harga ini merupakan persentase kenaikan harian terbesar dalam hampir empat minggu. Harga WTI menetap pada 56,94 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Sementara itu, patokan global, minyak mentah Brent untuk pengiriman April naik 1,18 dolar AS atau 1,8 persen, menjadi ditutup pada 66,39 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
"Secara keseluruhan, ini adalah laporan yang sangat positif dengan permintaan yang lebih kuat, dan saya pikir Anda sudah melihat dampak dari pemotongan OPEC," kata Phil Flynn, analis di Price Futures Group di Chicago.
Menteri Energi Saudi Khalid al-Falih mengatakan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mitra-mitranya santai menanggapi cicitan Trump pada Senin (25/2). Trump menyatakan kelompok itu untuk 'bersantai' pada pengurangan produksi.
"Sebanyak 25 negara mengambil pendekatan yang sangat lambat dan terukur," kata Falih di Riyadh ketika diminta untuk mengomentari Trump, seperti dilaporkan CNBC.
Harga minyak telah naik lebih dari 20 persen sepanjang tahun ini setelah OPEC dan sekutu produsen nonanggota sepakat untuk memangkas produksi selama enam bulan mulai Januari. Hal itu dilakukan guna menghindari penumpukan surplus global, terutama ketika produksi minyak mentah AS booming.
Falih mengatakan kelompok itu mungkin perlu memperpanjang perjanjian untuk mengekang produksi hingga akhir 2019.
Produksi minyak mentah AS telah mencapai rekor tertinggi selama dua minggu berturut-turut, mencapai 12,1 juta barel per hari pekan lalu.