REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sertifikasi halal produk usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM belum sepenuhnya diinginkan oleh seluruh pelaku UMKM di tanah air. Pasalnya, biaya sertifikasi dinilai masih cukup tinggi. Di sisi lain, sertifikat halal tidak serta merta meningkatkan jangkauan pasar. Sejumlah akademisi menilai, pemerintah perlu mempertimbangkan penggratisan biaya sertifikasi halal.
Pengamat Ekonomi Syariah dari Sekolah Tinggi Ekonomi Islam, Azis Budi Setiawan, mengatakan, penggratisan biaya sertifikat halal menjadi perlu karena ketertinggalan Indonesia sebagai produsen produk halal. “Ini ironi. Indonesia menjadi pasar utama produk halal, tapi soal produsen, 10 besar pun kita tidak masuk,” kata Azis kepada Republika.co.id, Selasa (26/2).
Azis mengatakan, Indonesia semestinya malu dengan realita yang terjadi saat ini. Karena itu, diperlukan strategi nasional untuk mendorong pasar produk halal UMKM agar lebih berdaya saing baik di lingkup domestik maupun skala global.
Penggratisan biaya sertifikasi, dapat menjadi salah satu instrumen pemerintah di tahap awal untuk mendorong kemajuan produk UMKM halal di tiap-tiap sektor. Ia mengakui, sertifikat halal menjadi salah satu hal mendasar agar produk halal lokal diakui oleh pasar. Tanpa ada sertifikat, sulit mendapat pengakuan dan kepastian pasar.
Azis menambahkan, disaat bersamaan, negara-negara di dunia yang mengembangkan produk halal juga sudah memikirkan soal sertifikasi. Ia mencontohkan, negara seperti Malaysia, Uni Emirat Arab, Thailand, hingga Australia menjadi contoh negara yang cukup fokus dalam pengembangan industri halal.
Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin, produk halal dari luar Indonesia akan memiliki daya tawar yang lebih kuat ketimbang produk asli dalam negeri. Hanya karena persoalan sertifikat. “Memang yang paling mendasar harus dilakukan sosialisasi dan edukasi ke pemerintah. Ini kan harapannya produk Indonesia bisa masuk ke rantai pasok produk halal global,” ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah menyiapkan insentif sertifikasi halal bagi produk UMKM. Insentif tersebut berupa pengurangan biaya sertifikasi yang harus dibayarkan oleh pemilik usaha. Berdasarkan keterangan yang diterima Republika.co.id, pelaku usaha hanya cukup membayar 10 persen dari besaran biaya sertifikasi halal per produk.
Sementara itu, Pakar Ekonomi Islam dari Islamic Economic Forum for Indonesia Development (ISEFID), Ali Sakti, menilai, insentif semestinya menjadi sebuah fasilitas yang tidak membebani pelaku UMKM. “Walaupun dia hanya membayar 10 persen ya tetap saja harus bayar. Lebih baik, digratiskan sehingga itu benar-benar menjadi fasilitas yang disediakan pemerintah,” ujarnya.
Alternatif lain, Ali menilai, fasilitas untuk membantu meningkatkan akses pasar produk halal UMKM dengan cara pelibatan UMKM untuk masuk ke rantai pasok produk halal skala luas. Produk UMKM yang bersangkutan juga akan sangat terbantu jika dimasukkan dalam basis data produk halal Indonesia yang dapat diakses oleh masyarakat luas. Menurut dia, dua alternatif fasilitas itu jauh lebih bermanfaat ketimbang pemberian insentif sertifikasi yang tidak sepenuhnya meringankan beban UMKM untuk mendapat pengakuan legal halal.