REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Perbanas Institute Hermanto Siregar menilai keputusan bank sentral untuk menahan suku bunga acuan sebesar enam persen bertujuan guna menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Keputusan itu dinilai tepat di tengah keputusan bank sentral AS the Fed yang belum akan menyesuaikan suku bunga acuan.
"Suku bunga belum bisa diturunkan, karena nilai tukar rupiah memang masih perlu dijaga kestabilannya," kata Hermanto saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (23/2).
Terkait kebijakan untuk melonggarkan likuiditas, ia menambahkan, Bank Indonesia (BI) bisa memulai upaya untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan. Ia juga memproyeksikan pertumbuhan kredit perbankan akan membaik pada semester I-2019 untuk mendukung pertumbuhan ekonomi diatas lima persen.
"Kalaupun GWM tidak diturunkan, kredit perbankan saya perkirakan akan meningkat di penghujung kuartal satu maupun pada kuartal dua," kata Hermanto.
Sebelumnya, BI untuk keempat kalinya secara berturut-turut mempertahankan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar enam persen. Hal itu diputuskan berdasarkan hasil rapat dewan gubernur periode 20-21 Februari 2019.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kembali dipertahankannya suku bunga acuan pada Februari 2019 ini untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan dan mempertahankan daya tarik instrumen keuangan domestik. Dengan suku bunga acuan yang tetap, suku bunga simpanan fasilitas deposit bank di BI (depocit facility) tetap 5,25 persen, dan fasilitas penyediaan likuiditas bagi bank (lending facility) tetap 6,75 persen.
Sebagai catatan, pada 2019, BI memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar untuk menurunkan defisit transaksi berjalan hingga 2,5 persen dari PDB, dari defisit transaksi berjalan di 2018 yang sebesar 2,98 persen PDB. Penurunan defisit transaksi berjalan memerlukan upaya keras mengingat tengah masih tingginya laju impor, termasuk impor untuk memenuhi permintaan minyak dan gas.