REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyebut nilai tukar rupiah per dolar AS masih terlalu murah (undervalue). Kurs masih berada di kisaran Rp 14.000 per dolar AS. BI mengindikasikan masih terdapat ruang penguatan bagi mata uang Garuda untuk waktu ke depan.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan ada empat hal yang memengaruhi pergerakan rupiah. Pertama, masuknya aliran modal asing yang menambah pasokan valas di dalam negeri. “Nilai tukar rupiah ke depan akan bergerak stabil," ujarnya di Gedung BI, Jumat (22/2).
Kedua, kondisi fundamental yang lebih baik dari sisi pertumbuhan, inflasi yang rendah, CAD yang juga menurun. Ketiga FFR yang lebih rendah yang semula tiga kali, kemudian diturunkan dua kali. "Kita perkirakan tahun ini hanya naik sekali-kali dan terakhir mekanisme pasar yang memang terus semakin baik, baik di BSR tunai, swap maupun DNDF,” ujar Perry memaparkan.
Penguatan Rupiah berlanjut pada Januari 2019 yang mencapai 2,92 persen dan terus terjadi pada Februari 2019. Berdasarkan data JISDOR BI, hari ini kurs bergerak cukup stabil yakni berada di posisi Rp 14.057 per dolar AS, sedikit melemah dibandingkan kemarin yang berada di posisi Rp 14.055 per dolar AS.
"Tren penguatan rupiah pada awal 2019 ditopang aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik seiring terjaganya fundamental ekonomi domestik dan tetap tingginya daya tarik aset keuangan domestik serta berkurangnya ketidakpastian pasar keuangan global," kata Perry menjelaskan.
Pengamat perbankan Paul Sutaryono menambahkan nilai tukar rupiah yang saat ini masih di level Rp 14.000 per dolar AS, memiliki makna masih diterima pasar keuangan dan dunia bisnis. Kendati demikian, ekonom Indef Bhima Yudhistira ini menilai nilai tukar rupiah masih berisiko melemah dalam jangka panjang selama Current Account Deficit (CAD) melebar kisaran 3 persen.
“Itu menandakan secara struktural ada ‘hantu’ yang menahan penguatan rupiah,” ucapnya ketika dihubungi Republika.