REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyebut salah satu wujud komitmen dalam pengupayaan peningkatan kualitas riset dan pengembangan (R&D) tak mesti dilakukan dengan peningkatan jumlah anggaran. Menurutnya, hal yang harus diperbaiki adalah format penganggaran untuk riset.
“Nggak harus dan nggak selalu (peningkatan jumlah anggaran untuk riset). Jadi anggaran itu harus dibenarkan dulu. Formatnya, dan nomenklaturnya. Jadi, sekali lagi, kalau tadi dikumpulkan berbagai macam anggaran yang, ini kan semua kementerian punya balitbang tu, nah itu semua dikumpul-kumpulkan itu saya yakin besar,” kata Enny kepada Republika, Ahad (18/2).
Dia menyebut anggaran untuk riset dan pengembangan di Indonesia adalah “gerimis”. Artinya, selain jumlahnya yang kecil, anggaran itu juga sangat tersebar di berbagai kementerian dan ditjen dengan jumlah yang sedikit pula.
Dengan anggaran yang “gerimis” tersebut, maka upaya riset dan pengembangan menjadi tidak fokus. Dia mencontohkan, saat ini pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga tak pernah terkoneksi dengan kebutuhan kementerian.
Tak hanya itu, kajian-kajian yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (NPPT) juga tak pernah terkoneksi dengan kementerian. Maka, tak heran, sejak era orde baru, badan riset dan pengembangan (balitbang) selalu dikonotasikan sulit berkembang dan selalu ditempatkan orang-orang yang bermasalah.
“Padahal itu kan justru enginenya, atau motor penggeraknya. Substansinya itu di situ kalau mau pengembangan teknologi,” kata dia.
Menurutnya, hal ini harus diperbaiki terlebih dahulu dengan melakukan pengembangan riset di seluruh sektor kementerian. Sehingga, nantinya akan menghasilkan pengembangan infrastruktur, energi, dan lain-lain.
“Jadi kalau tetap parsial-parsial seperti ini ya hanya sekadar lip service, hanya sekadar komitmen,” jelas dia.