Ahad 17 Feb 2019 19:49 WIB

Defisit Neraca Perdagangan Dinilai tak Selalu Negatif

Pasalnya, pertumbuhan ekonomi utamanya didorong oleh konsumsi dan investasi.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Budi Raharjo
Neraca Perdagangan Indonesia 2018. Bongkar muat peti kemas di JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Senin (14/1/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Neraca Perdagangan Indonesia 2018. Bongkar muat peti kemas di JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Senin (14/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Defisit neraca perdagangan Indonesia semakin melebar pada Januari 2019. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan pada bulan lalu defisit sebesar 1,16 miliar dolar AS, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan posisi bulan Desember yang sebesar 1,03 miliar dolar AS.

Meski begitu, Direktur Centre of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, kinerja perdagangan yang terus defisit tidak selalu berarti negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi utamanya didorong oleh konsumsi dan investasi.

"Neraca perdagangan bisa jadi defisit ketika pertumbuhan impor jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan ekspor. Artinya sama-sama tumbuh yang diikuti oleh pertumbuhan investasi dan konsumsi rumah tangga," jelas Piter kepada Republika, Ahad, (17/2).

Bila itu terjadi, kata dia, pertumbuhan ekonomi akan terpacu. "Kondisinya saat ini di indonesia memang tidak seperti itu karena pertumbuhan impor melambat diikuti ekspor yang melambat lebih cepat," ujarnya.

Menurut Piter, Pertumbuhan ekonomi masih bisa lebih baik. Hal itu apabila pemerintah bisa menjaga permintaan domestik untuk mendorong konsumsi rumah tangga serta investasi.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menambahkan, kurs rupiah akan bergerak melemah pekan depan. Itu disebabkan adanya reaksi dari rilis neraca perdagangan yang mengalami pelebaran defisit.

"Defisit Januari ini lebih buruk defisitnya dripada Desember 2018 maupun Januari 2018. Implikasinya investor asing mulai keluar dari pasar saham sebanyak Rp 3,3 triliun dalam seminggu terakhir," ujar Bhima.

Ia melanjutkan, konsekuensi dari pelebaran defisit perdagangan, Investor khawatir Current Account Deficit (CAD) juga akan melebar pada 2019. Apalagi sentimen global pun masih terus terjadi.

"Negosiasi perang dagang Amerika Serikat dan Cina yang masih belum temukan titik temu, perpanjangan proposal brexit, dan kekhawatiran deflasi di Cina karena turunnya volume permintaan global jadi isu utama di pasar," jelas Bhima. Dirinya memprediksi, kurs rupiah pekan depan akan bergerak di Kisaran Rp 14.150 per dolar AS sampai Rp 14.300 per dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement