REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analyst (CITA) Yustinus Prastowo menilai, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap bahan bakar pesawat avtur tidak sepatutnya dipermasalahkan sebagai penyebab kenaikan harga tiket pesawat. Sebab, PPN sudah diberlakukan sejak lama dan mekanismenya dapat dikredit oleh maskapai penerbangan.
Yustinus menambahkan, PPN 10 persen terhadap avtur sudah terbilang netral. Di Eropa, nilai PPN itu dapat mencapai hingga 25 persen.
Permasalahannya saat ini adalah beban terasa semakin tinggi, sehingga PPN 10 persen menjadi memberatkan. "Yang harus dilakukan sekarang, bedah komponen biaya avtur untuk cari tahu kenapa jadi terasa berat," ujarnya ketika dihubungi Republika, Kamis (14/2).
Yustinus memastikan, usulan penghapusan PPN terhadap avtur tidak dapat dilakukan. Sebab, avtur tergolong dalam barang kena pajak yang sesuai dengan undang-undang harus dikenakan PPN. Kalaupun ingin dihapus, regulasi yang sudah ditetapkan pemerintah sedari awal sama saja dilanggar.
Satu-satunya cara yang dapat dilakukan kini adalah menganggap avtur sebagai barang strategis. Dengan begitu, pemerintah tidak perlu memungut PPN dari avtur.
Saat ini, Yustinus menambahkan, setidaknya ada sembilan kelompok barang yang sudah dibebaskan PPN, mulai dari mesin dan peralatan pabrik hingga pakan ikan dan ternak.
Ketentuan itu telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2015 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN.
Tapi, pemerintah harus kembali mengkaji mengenai kelayakan avtur sebagai barang bersifat strategis. "Kalau memang masuk dalam kategori, bisa saja," kata Yustinus.
Ada beberapa tujuan pemberian fasilitas pembebasan PPN pada beberapa kelompok barang strategis. Di antaranya untuk mendukung keberhasilan sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi sekaligus memperhatikan daya saing nasional.
Dengan pembebasan PPN terhadap avtur, Yustinus menambahkan, berpotensi menggerus penerimaan pajak apabila tidak diberikan secara hati-hati. Sebab, kontribusi PPN terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan terbilang besar yakni 41 persen.
Meski tidak memiliki seberapa besar persentase PPN avtur, Yustinus menilai, kebijakan penghapusan tersebut pasti memberikan pengaruh. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk benar-benar mengkaji dampaknya. "Baik terhadap masyarakat maupun permasalahan likuiditas para maskapai," katanya.
Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama menuturkan, pihaknya akan mengkaji usulan pengurangan ataupun penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan bakar pesawat avtur. Tapi, ia belum dapat memberikan target realisasi kebijakan tersebut mengingat ada sejumlah pertimbangan yang harus dipikirkan.
Salah satu pertimbangan tersebut adalah membicarakan dengan parapihak. Kajiannya sendiri akan dilakukan oleh Kementerian Keuangan, tepatnya oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Direktorat Jenderal Pajak.
"Dari hasil kajian tersebut, baru akan diketahui langkah setelahnya," ucap Hestu.
Hanya saja, Hestu menambahkan, pihaknya menilai pandangan bahwa mahalnya harga avtur dikarenakan PPN tidaklah benar. Sebab, PPN sebesar 10 persen sudah dikenakan sejak awal dan berlaku pada produk-produk yang sudah ditentukan sesuai regulasi pemerintah.
Apabila ada dinamika harga, faktor penentunya adalah harga dari produk yang dikenakan PPN itu sendiri.
Hestu mengatakan, pajak yang diberlakukan pada avtur tidak hanya terjadi pada Indonesia. Negara lain juga melakukan hal serupa, namun dengan aturan tarif PPN yang berbeda, sesuai regulasi negara masing-masing.