REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peta jalan atau road map e-commerce yang telah lama digodok pemerintah akan rampung dalam waktu dekat. Itu artinya butuh waktu lima tahun sejak awal diinisiasi pada 2014 lalu.
"Saat ini sudah tahap finalisasi di Sekretariat Negara," kata Deputi IV Kemenko Perekonomian Rudy Salahuddin dalam acara rilis laporan Komodo Digita oleh Hinrich Foundation di Graha Niaga Thamrin, Selasa (12/2).
Ia mengatakan, Peraturan Presiden (Perpres) e-commerce yang telah lama diinisiasi tersebut membuat banyak poin yang sudah tidak relevan lagi. "Sehingga ada beberapa peta jalan yang tidak kami selesaikan karena tidak relevan sementara beberapa isu kita masukan seperti data," ujar dia.
Terkait data, ia melanjutkan, selama ini pemerintah mengalami kesulitan dalam memiliki data e-commerce. Badan Pusat Statistik (BPS) pun diminta mengumpulkan data dari para pemain e-commerce meski ada resistensi lantaran kemungkina data yang diminta pemerintah merupakan rahasia perusahaan.
"Ini yang mau kita benahi supaya para pemain menyampaikan datanya dengan tanpa beban," kata dia.
Ia pun akan melakukan sinergi antar Kementerian/Lembaga agar data e-commerce dikeluarkan secara satu pintu. Dengan begitu, pelaku e-commerce tidak dipusingkan dengan permintaan data dari setiap Kementerian/Lembaga.
Dharapkan, dengan selesainya roadmap e-commerce tersebut akan diikuti dengan adanya Strategi Nasional Ekonomi Digital. Padahal, cara tersebut diperlukan untuk mewujudkan Indonesia menjadi hub e-commerce di Asia Tenggara.
Ia menjelaskan, Strategi Nasional Ekonomi Digital mengatur keseluruhan mulai dari perpajakan, logistik, cross border, pengembanga talent, perlindunhan data pribadi dan lainnya. Yang jelas, ia melanjutkan, semua aspek ekonomi digital akan masuk ke dalam Strategi Nasional Ekonomi Digital tersebut.
"Negara kita belum pernah ada strategi ekonomi digital secara nasional. Harus kita selesaikan tahun ini sebagai bentuk luaran Perpes roadmap e-commerce," kata dia.
Berdasarkan laporan Hinrich Foundation, perdagangan digital bisa menciptakan peluang ekonomi senilai Rp 2.305 triliun atau 172 miliar dolar AS bagi Indonesia pada 2030. Nilai tambah perdagangan digital ini tumbuh hingga 18 kali lipat.
Rudy menganggap hal tersebut sangat mungkin terjadi. Apalagi, saat ini sudah banyak unicorn di tanah air dan banyaknya pelaku UKM.
"Ini harusnya sih possible tapi masalahnya, berapa produk lokal yang bisa main di dalam e-commerce ini?" ujarnya. Untuk itu, pelaku UKM terus didorong untuk bisa bermain di platform digital.
CEO Hinricc Foundation Kathryn Dioth mengatakan, ekspor digital hanya menyumbang angka satu persen dari jumlah nilai ekspor Indonesia saat ini. Ekspor digital bisa berkembang hingga 768 persen dari level saat ini hingga mencapai nilai Rp 240 triliun setara 18 miliar dolar AS pada 2030.
"Perdagangan digital berpotensi untuk menumbuhkan jumlah nilai ekspor Indonesia secara signifikan," katanya.
Menurutnya, guna memaksimalkan pengembalian investasi di masa depan dari perdagangan digital, maka hambatan perdagangan digital perlu dikurangi, seperti potensi pengenaan bea masuk pada impor produk digital.