Rabu 06 Feb 2019 09:19 WIB

Tekanan pada Ritel Menengah ke Atas akan Lebih Berat

Persaingan antara hypermarket dan minimarket mulai terjadi pertengahan 2000-an

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Central Neo Soho, Jakarta, akan resmi tutup pada 18 Februari 2019.
Foto: dok. PT Central Retail Indonesia
Central Neo Soho, Jakarta, akan resmi tutup pada 18 Februari 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi syariah dari SEBI School of Islamic Economics Aziz Setiawan menjelaskan, ritel dengan target kelas menengah ke atas mendapat tekanan lebih besar dibandingkan mereka yang menyasar kalangan menengah ke bawah. Sebab, masyarakat dengan ekonomi atas telah mengalami perubahan prioritas dari belanja keperluan gaya hidup menjadi berwisata.

Pergeseran pola ini yang pada akhirnya menyebabkan sejumlah gerai dengan pasar masyarakat menengah ke atas memutuskan menutup gerai. Sebut saja Hero Supermarket yang menutup 26 toko dan Central Department Store.

Baca Juga

"Preferensi masyarakat untuk pindah dari offline ke online membuat tekanan semakin besar," tuturnya saat dihubungi Republika, Selasa (5/2).

Menurut Azis, kini semakin banyak platform online seperti Bukalapak dan Tokopedia yang menyediakan produk beragam. Dari kebutuhan rumah tangga, peralatan dapur hingga produk fesyen. Kondisi ini membuat mereka mampu menggeser keberadaan ritel besar yang tidak memiliki jaringan offline.

Di sisi lain, Azis menambahkan, ritel yang mampu bertahan saat ini adalah minimarket seperti Indomart dan Alfamart. Meski kinerjanya sempat turun pada 2015 akibat kenaikan harga BBM, performa mereka sudah relatif naik dan stabil sejak satu sampai dua tahun terakhir.

Azis menyebutkan, banyak faktor yang mendorong kestabilan pertumbuhan minimarket. Salah satunya, konsep mereka yang fokus untuk melayani produk kebutuhan utama masyarakat.

"Ini sesuai dengan tren pola belanja masyarakat yang kini cenderung fokus pada kebutuhan pokok atau substantif," ujarnya.

Apalagi, Azis menambahkan, ritel kecil seperti minimarket dapat memperluas layanan tambahan kebutuhan lainnya yang relatif ringan. Misalnya, kafe kecil di dalam gerai dan ketersediaan layanan beli tiket pesawat maupun kereta api.

Hal ini yang menjadi keunggulan minimarket dibandingkan hypermarket, supermarket dan department store yang kebanyakan fokus pada produk fesyen.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menyebutkan, persaingan antara hypermarket, supermarket dan minimarket mulai terjadi di pertengahan era 2000an. "Masyarakat semakin sibuk dan bosan dengan toko besar, inginnya ke toko yang membuat mereka bisa langsung fokus beli suatu produk," ujarnya saat ditemui Republika di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Selain itu, Tutum menambahkan, tiga jenis ritel ini memiliki pendekatan berbeda terhadap konsumen yang ingin disasar. Salah satu hypermarket, misalnya, hanya fokus ke daerah pinggiran atau pintu keluar masuk pemukiman.

Sementara itu, supermarket banyak memilih ekspansi di tengah kota dan terintegrasi dengan pusat perbelanjaan lainnya. Sedangkan, minimarket cenderung ekspansi ke berbagai daerah, dari area pemukiman padat hingga dekat tempat wisata.

Keberadaan mereka yang saling berdekatan sudah menjadi hal wajar. "Masing-masing memiliki strateginya," ucap Tutum.

Pertumbuhan minimarket juga disampaikan dalam Fitch Ratings. Ritel besar seperti supermarket dan hypermarket akan terus mengalami pelemahan pada tahun ini yang menguntungkan minimarket. Peralihan preferensi konsumen untuk berbelanja dalam kuantitas lebih kecil menjadi faktor utamanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement