Ahad 03 Feb 2019 19:14 WIB

Industri Butuh Insentif Fiskal Spesifik

Pertumbuhan industri manufaktur besar mengalami perlambatan.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
Ekspor-impor (ilustrasi)
Ekspor-impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, perlambatan pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang (IBS) tak terlepas dari penurunan sejumlah sektor. Di antaranya, elektronik, jasa reparasi, industri bahan kimia dan kayu. Faktor penyebabnya, biaya impor bahan baku yang mengalami kenaikan di tengah volatilitas kurs rupiah sepanjang 2018.

Bhima menjelaskan, bahan kimia dan elektronik sangat mengandalkan bahan baku impor. Di sisi lain, konsumsi relatif lambat di kisaran lima persenn pasar di dalam negeri dan relatif stagnan. "Faktor tahun politik juga membuat produsen cenderung berhati-hati untuk ekspansi," tuturnya saat dihubungi Republika, Ahad (3/2).

Faktor penyebab lainnya, Bhima menambahkan, kenaikan suku bunga kredit yang menambah cost of borrowing atau biaya pinjaman pengusaha. Pasar ekspor pun mengalami perlambatan karena efek perang dagang, dan ekonomi global yang mengalami perlambatan (slow down) di negara tujuan ekspor utama.

Untuk mengatasi hal ini, Bhima menuturkan, pemerintah harus memiliki strategi dengan mendesain insentif fiskal secara spesifik pada sektor yang alami perlemahan. Insentif bisa berupa penurunan tarif bea keluar dan pemangkasan izin ekspor.

Tidak hanya itu, perluasan pasar ke negara non tradisional juga penting sebagai strategi hindari perlambatan ekonomi negara maju. "Proyeksi pertumbuhan kawasan di Timur Tengah dan Sub sahara Afrika hingga 2020 berada dalam tren yang positif harus dimanfaatkan," ujar Bhima.

Terakhir, Bhima menjelaskan, saat ini adalah momentum tepat bagi pengusaha untuk melakukan efisiensi di segala lini produksi. Strategi cutting cost adalah jalan keluar dari tekanan naiknya biaya produksi.

Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Adrianto mengatakan, apabila dilihat lebih mendalam, sektor pengolahan batubara dan migas terus mengalami penurunan. "Tapi, sektor lain seperti makanan dan minuman tumbuh dengan baik," katanya.

Melihat kondisi ini, Adrianto menilai, penurunan sektor manufaktur ada hubungan dengan semakin menurunnya peran industri pengolahan sumber daya alam (SDA). Dinamika jual-beli komoditas SDA di tingkat internasional turut memberikan pengaruh.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang memperlihatkan pertumbuhan produksi IBS pada 2018 hanya sebesar 4,07 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut melambat dibandingkan pertumbuhan pada 2017 yang sebesar 4,74 persen (yoy).

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, manufaktur mengalami tantangan berat perang dagang, perlambatan ekonomi dunia, dan fluktuasi harga komoditas seperti minyak kelapa sawit.

"Itu semua memberikan pengaruh," ujarnya di Jakarta, Jumat (1/2).

Makanan yang memiliki porsi dominan atau sebesar 25,41 persen terhadap total IBS justru tumbuh di bawah harapan. Industri makanan hanya tumbuh 7,4 persen (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan 2017 yang sebesar 9,93 persen (yoy).

Pertumbuhan terbesar berasal dari industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki yang naik 18,78 persen (yoy) dengan porsi 1,59 persen terhadap total IBS. Sementara, kontraksi terbesar terjadi pada industri komputer, barang elektronik, dan optik yang tumbuh negatif sebesar 15,06 persen (yoy) dengan porsi 2,83 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement