REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak berbalik naik atau "rebound" pada akhir perdagangan Selasa (29/1) atau Rabu pagi (30/1) WIB. Menguatnya harga minyak ini terjadi pasca Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan minyak milik negara Venezuela.
Sanksi tersebut untuk meningkatkan tekanan keuangan terhadap Presiden Venezuela Nicolas Maduro melalui pembatasan ekspor minyak mentah negara itu. Gedung Putih mengumumkan sanksi-sanksi terhadap Petroleos de Venezuela SA (PDVSA), selama pengarahan (briefing) pada Senin (28/1), yang digambarkan oleh Departemen Keuangan AS sebagai "sumber utama pendapatan dan mata uang asing Venezuela."
Karena PDVSA memberikan kontribusi besar sekali terhadap ekspor minyak Venezuela, langkah itu akan menutup tujuh miliar dolar AS dalam aset-aset dan dapat mengakibatkan kehilangan penjualan senilai 11 miliar dolar AS selama tahun berikutnya, kata penasihat keamanan nasional AS John Bolton selama briefing di Gedung Putih.
Setiap pembelian minyak Venezuela oleh entitas AS akan mengalir ke akun-akun yang diblokir. Uang yang bersangkutan hanya akan diberikan kepada para pemimpin sah Venezuela, menurut Gedung Putih.
Amerika Serikat adalah pelanggan minyak terbesar Venezuela, mengimpor sekitar 500.000 barel minyak mentah per hari pada tahun 2018, menurut Reuters.
PDVSA juga merupakan perusahaan induk dari perusahaan minyak Citust yang berbasis di Houston dan memegang saham mayoritas Citgo, juga penyuling dan pengangkut bahan bakar dan produk-produk industri lainnya.
Para investor khawatir bahwa sanksi-sanksi terbaru akan berdampak negatif pada pembeli AS dan mengirim harga minyak global melonjak.
Minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret naik 1,32 dolar AS, menjadi menetap pada 53,31 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara itu, patokan global minyak mentah Brent untuk pengiriman Maret naik 1,39 dolar AS, menjadi ditutup pada 61,32 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.