REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memprediksi, pertumbuhan ekspor Indonesia pada 2019 hanya berada di sekitar enam persen. Jumlah tersebut lebih rendah dibanding dengan perkiraan pemerintah, yakni tujuh persen.
Bhima menjelaskan, bahkan, besar kemungkinannya apabila kinerja ekspor lebih rendah dibanding dengan 2018 yakni 6,65 persen. Perkiraan ini sudah memperhitungkan semua yang ada, termasuk fluktuasi rupiah dan perang dagang.
"Selain itu, perlambatan ekonomi secara global," ujarnya ketika ditemui dalam diskusi Ekonomi Indonesia Pasca Pilpres 2019 di Jakarta, Senin (28/1).
Sebagai solusi, Bhima menekankan, pemerintah harus cepat melakukan diversifikasi produk dan negara tujuan ekspor. Meski butuh waktu lama, proses ini harus dijalankan dari sekarang. Jika tidak, dikhawatirkan kinerja ekspor dapat terus menurun.
Selain itu, pemerintah juga harus mengalokasikan dana lebih banyak untuk tim negosiasi dan perundingan. Apabila ada riak protes dari negara lain mengenai produk Indonesia, pemerintah harus cepat tanggap. "Selama ini, kekurangan ekspor kita adalah kinerja dari tim perundingan dan negosiasi yang masih dianggap lemah," ujar Bhima.
Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga akan membahas jenis komoditas apa saja yang akan masuk dalam simplifikasi Larangan Terbatas Ekspor (Lartas). Rencananya, daftar komoditas akan dibahas pada pekan ini bersama kementerian dan lembaga terkait lain.
Baca juga, Proteksionisme, Tantangan Negara Tingkatkan Kinerja Ekspor
Bhima mengapresiasi atas inisiatif pemerintah tersebut. Untuk mengirimkan barang ke luar, semua pungutan dan prosedur memang harus dipermudah. Kalaupun bisa, pungutan ekspor dapat dinolkan untuk mendorong inisiatif pengusaha dalam mengekspor komoditas, termasuk crude palm oil (CPO).
Namun, Bhima menekankan, dampak dari pengurangan prosedur terhadap peningkatan ekspor dapat terasa pada tiga sampai lima bulan ke depan. Artinya, kondisi pada semester pertama masih terbilang berat. "Harga komoditas perkebunan yang mulai pick up (naik), hanya itu yang mendorong semester satu," tuturnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam peningkatan kinerja ekspor Indonesia adalah sikap proteksionisme dari sejumlah negara. Terbaru, Filipina menyampaikan protes terhadap defisit transaksi perdagangan yang semakin lebar dengan Indonesia. Protes ini diperkirakan dapat berdampak pada proteksi terhadap komoditas kelapa sawit Indonesia.
Bhima menilai, sumber dari permasalahan hambatan dagang yang dialami Indonesia saat ini adalah Eropa. Mereka memberikan bea masuk lebih besar kepada Indonesia, khususnya isu di Prancis. Selain itu, Indonesia dituduh merusak lingkungan. "Makanya, pada 2030, mereka ada masterplan energi terbarukan yang tidak menggunakan sawit," ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menargetkan peningkatan nilai ekspor non migas sebesar 7,47 persen atau mencapai 175,9 miliar dolar AS pada 2019. Sementara itu, realisasi capaian ekspor nonmigas periode Januari sampai November 2018 dengan nilai 163,6 miliar dolar AS.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, angka tersebut sudah ditetapkan dalam rapat kerja internal Kemendag. Dalam waktu dekat, ia ingin melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan atase perdagangan untuk mengukur betul target yang ingin dicapai.
"Tapi, masih dalam rentang angka tersebut," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Kemendag, Jakarta, Kamis (10/1).