REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, perlambatan ekonomi Cina memberikan banyak dampak terhadap Indonesia. Salah satunya, berpotensi mengurangi permintaan Cina terhadap bahan baku dari Indonesia.
Bhima mengatakan, efeknya, kinerja ekspor tahun ini diperkirakan hanya ada di kisaran enam sampai tujuh persen. "Porsi ekspor Indonesia ke China tercatat 15 persen di 2018 atau sebesar 24,3 miliar dolar AS," ujarnya ketika dihubungi Republika, Senin (21/1).
Melemahnya permintaan dari Cina, lanjut Bhima, juga membuat harga komoditas dalam proses pemulihan yang lebih lama baik minyak mentah, batu bara, sawit, dan karet. Otomatis, kata dia, pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor komoditas dapat goyah dan prospek pertumbuhan ekonomi di daerah berbasis komoditas, seperti Kalimantan dan Sumatera, turun.
Sementara itu, dari sektor keuangan, investor akan mencari aman dengan mengalihkan dana ke surat utang dan mata uang yen Jepang. Kondisi ini terlihat dari respon rupiah yang melemah di level 14.220 atau 0,35 persen pada sesi perdagangan siang ini.
Poin lainnya, investor akan menunda masuk ke Indonesia melihat outlook ekonomi global yang melambat. Pertumbuhan Foreign Direct Investment (FDI) di tahun 2019 pun sulit untuk diharapkan, apalagi dengan adanya momentum Pemilihan Presiden (Pilpres) pada April.
"Investor cenderung wait and see perbaikan data ekonomi Cina. Tapi, unlikely, Cina akan membaik dalam waktu dekat, selama perang dagang belum diakhiri," kata Bhima.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani juga menyampaikan, pelambatan pertumbuhan ekonomi Cina belakangan ini turut memberikan pengaruh terhadap ekonomi Indonesia. Salah satu penyebabnya, ekspor Indonesia yang masih bergantung pada Negeri Tirai Bambu tersebut.
Bahkan, menurut Rosan, Indonesia akan lebih sensitif terhadap perlambatan ke Cina dibanding dengan kondisi di Amerika. "Sebab, posisi ekspor ke Cina lebih besar," tuturnya ketika dihubungi Republika.
Sebagai antisipasi, Rosan menambahkan, pemerintah dan pengusaha harus semakin gencar memperluas akses ekspor ke negara tradisional lainnya maupun negara baru. Meski membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan efeknya, upaya ini tetap harus dilakukan segera guna mengantisipasi ekonomi Cina yang dapat terus melemah.
Selain pelemahan ekonomi Cina, Rosan menilai, kinerja ekspor Indonesia yang bergantung pada komoditas bahan mentah juga harus diperhatikan. Pasalnya, harga komoditas di pasar internasional rawan terjadi penurunan pada 2019.
"Ditambah dengan perekonomian Cina yang melemah, kinerja ekspor kita dapat terus menurun," tuturnya.
Rosan menilai, salah satu solusi yang dapat dilakukan pemerintah adalah menambah variasi produk ekspor. Khususnya, produk jadi yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dibanding bahan mentah.
Di samping itu, pemerintah juga harus meningkatkan investasi yang turut menjadi kunci penggerak dari pertumbuhan ekonomi selain ekspor.
Investasi yang patut menjadi prioritas adalah di sektor manufaktur berorientasi ekspor. Sampai saat ini, konsumsi dosmetik Indonesia masih terlihat baik dan pertumbuhan industri sudah baik dengan mencapai lebih dari lima persen.
"Momen ini dapat dimanfaatkan dengan ekspansi investasi," ujar Rosan.
Saat ini, Cina tengah mengalami pertumbuhan ekonomi paling lambat dalam 28 tahun terakhir. Hal ini terjadi akibat melemahnya permintaan domestik dan kenaikan tarif yang ditetapkan oleh AS.
Kondisi ini memicu kekhawatiran terhadap ekonomi global karena Cina menyumbang hampir sepertiga pertumbuhan global dalam dekade terakhir.
Berdasarkan analis yang disurvei oleh Reuters pada Senin (21/1), ekonomi Cina diperkirakan tumbuh 6,4 persen pada kuartal Oktober-Desember dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut terbilang melambat dari laju 6,5 persen pada kuartal sebelumnya dan tingkat kesesuaian terakhir terlihat pada awal 2009 selama krisis keuangan global.
Hal ini bisa menarik pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 2018 menjadi 6,6 persen, terendah sejak 1990 dan turun dari 6,8 persen dari angka yang direvisi pada 2017.