REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, rendahnya produktivitas tebu memiliki keterkaitan erat dengan harga gula di pasaran. Saat ini, harga gula lokal tiga kali lebih mahal dibandingkan harga gula di pasar internasional. Kondisi itu mengindikasikan adanya biaya produksi yang tinggi di tingkat produsen lokal.
Ilman mengatakan, salah satu penyebab rendahnya produktivitas gula lokal adalah banyak pabrik gula di Indonesia yang sudah sangat tua. Pabrik-pabrik gula ini perlu mendapatkan revitalisasi mesin produksi. "Belum lagi mempertimbangkan kualitas tebu yang ditanam yang dipengaruhi oleh faktor geografis dan iklim lokal," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Ahad (20/1).
Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) 2018, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektare pada 2017. Jumlah itu lebih rendah daripada negara-negara penghasil gula lainnya, seperti Brasil yang sebesar 68,94 ton per hektar dan India yang sebesar 70,02 ton per hektare dalam periode yang sama.
Ilman menuturkan, peningkatan produktivitas gula akan membantu pemerintah dalam menekan impor gula. Sebab, impor dapat dikurangi apabila produksi dalam negeri sudah mencukupi permintaan dan tersedia pada harga yang terjangkau di pasar. "Tentunya dengan memiliki komoditas gula yang terjangkau dan tersedia secara lokal, baik produsen maupun konsumen sama-sama beruntung," ucapnya.
Ilman mengatakan, penekanan impor dan peningkatan produktivitas gula dalam negeri harus dilakukan secara beriringan. Sebab, apabila impor dikurangi dengan kondisi produksi gula yang belum stabil saat ini, justru berpotensi mengurangi peredaran gula di pasar. Pada akhirnya, kondisi ini bisa meningkatkan harga menjadi jauh lebih mahal lagi.
Seperti sebuah rantai, harga mahal menyebabkan konsumen dan unit usaha UMKM yang menggunakan gula sebagai bahan produksinya akan menanggung kerugian.
Ilman menekankan, mempertimbangkan penekanan impor gula bukan merupakan hal yang salah. Tapi, sebaiknya, pemerintah fokus pada peningkatan daya saing pabrik gula Indonesia dan kebijakan yang mendorong modernisasi pabrik gula. “Dua hal ini dapat menjadi salah satu langkah awal yang patut dipertimbangkan untuk menekan harga gula,” katanya.
Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Achmad Heri Firdaus mengatakan, banyak pekerjaan rumah pemerintah untuk membenahi industri gula dalam negeri guna mengurangi impor di periode mendatang. Hal itu di antaranya memberikan insentif pada petani dan meningkatkan produksi gula.
Untuk insentif petani, Heri menjelaskan, dapat diberikan melalui perluasan area lahan maupun meningkatkan kualitas mesin giling. Tujuannya, agar mereka mampu menghasilkan rendemen lebih tinggi dari saat ini yang mencapai 7 hingga 7,5 persen. "Insentif misalnya dengan memberikan bantuan investasi di segi peralatan," ujarnya ketika ditemui usai Konferensi Pers Indef Manisnya Rente Impor Gula di Jakarta, Senin (14/1).
Dari sisi industri, pemerintah sebaiknya membantu meningkatkan kapasitas produksi gula dengan revitalisasi pabrik gula. Terlebih, jumlah pabrik kini banyak yang tidak efisien sehingga produksi lokal tidak mengalami peningkatan signifikan, sementara konsumsi terus meningkat.
Cara lain, Heri menjelaskan, pemerintah memberikan kewajiban bagi pengusaha importir gula untuk membangun pabrik gula dengan kualitas yang mampu memenuhi kebutuhan industri. Upaya ini dapat menjadi solusi jangka panjang agar tiap tahun tidak terjadi importasi gula. "Terlebih, trennya meningkat tiap tahun," katanya.
Kemudian, pemerintah juga harus mempertimbangkan aspek harga dunia. Saat ini, menurut catatan World Bank, harga gula dunia Rp 4.000 per kilogram yang dengan mempertimbangkan aspek asuransi, distribusi dan sebagainya, sehingga memiliki harga Rp 7.000 per kilogram. "Tapi, di pasaran, gula dijual dengan harga Rp 12 ribu per kilogram. Apakah keuntungan itu sudah pas?" kata Heri.