Rabu 09 Jan 2019 17:26 WIB

Industri Sawit Diminta Berkembang

Minyak sawit mentah berkelanjutan bersertifikat RSPO diperkirakan 12,43 juta ton.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Friska Yolanda
Operator pelabuhan mengawasi sebuah kapal tanker pengangkut minyak sawit yang bersiap sandar perdana di tahun 2019 di Pelabuhan Pelindo I Dumai, Dumai, Riau, Selasa (1/1/2019).
Foto: Antara/Aswaddy Hamid
Operator pelabuhan mengawasi sebuah kapal tanker pengangkut minyak sawit yang bersiap sandar perdana di tahun 2019 di Pelabuhan Pelindo I Dumai, Dumai, Riau, Selasa (1/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih dari tiga juta hektare lahan perkebunan kelapa sawit telah mendapat sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Berdasarkan data Kementerian Pertanian 2018, sebanyak 467 sertifikat ISPO telah diberikan kepada para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit.

Sementara pada 2018 lalu, minyak sawit mentah berkelanjutan (CSPO) bersertifikat RSPO diperkirakan tembus sebesar 12,43 juta ton. Sebesar 52 persen berasal dari Indonesia atau sebesar 6,5 juta ton, belum lagi yang bersertifikasi ISCC. 

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan, keberhasilan Indonesia sebagai produsen minyak sawit berkelanjutan terbesar di dunia juga diperkuat dengan keberhasilan sebagai produsen terbesar minyak sawit mentah (CPO) di dunia. Produksi tahun lalu tercatat sebanyak 42 juta ton.

Menurutnya, keberadaan minyak sawit terus memberikan kontribusi besar bagi negara dan masyarakat. Salah satunya melalui pengembangan industri turunan minyak sawit sebagai bioenergi, yang juga menguntungkan secara lingkungan.

“Minyak sawit harus terus dikembangkan, supaya memberikan banyak keuntungan bagi pendapatan negara, sosial masyarakat dan lingkungan yang lebih baik,” katanya dalam acara Diskusi Sawit Bagi Negeri di Hotel Akmani, Rabu (9/1).

Keberhasilan yang dicapai rupanya tidak hanya dimiliki sektor hulu industri perkebunan kelapa sawit. Sektor hilir minyak sawit juga memiliki banyak kemajuan yang cukup signifikan. Misalnya lebih dari 30 juta ton produk ekspor asal Indonesia berupa produk hilir minyak sawit, dengan produk andalannya Refined Bleaching Deodorized Olein (RBD-Olein).

Keberhasilan yang mampu diraih tersebut, ia melanjutkan, tidak terlepas dari strategi perdagangan Indonesia menggunakan instrumen fiskal, guna menahan laju pertumbuhan ekspor minyak sawit mentah (CPO). Sehingga, dalam kurun waktu singkat, Indonesia mampu menumbuhkan industri hulu hingga hilir, dan menjadi jawara minyak nabati dunia.

Strategi pungutan dana CPO Supporting Fund (CSF), yang dikelola Badan Layanan Umum (BLU), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), merupakan salah satunya. Melalui BLU BPDP-KS inilah, strategi pembangunan minyak sawit nasional dilakukan, supaya mendorong adanya pertambahan nilai dari minyak sawit mentah (CPO) yang mampu dihasilkan Indonesia. Tumbuhnya industri hilir minyak sawit nasional terus didorong agar bisa mendapatkan banyak keuntungan di dalam negeri.

Advisor senior dari Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan mengatakan, keberhasilan pembangunan minyak sawit di berbagai daerah juga ditopang dari banyaknya partisipasi masyarakat yang terlibat membangun usaha kelapa sawit. Dengan keterlibatan masyarakat itu, maka usaha minyak sawit berkelanjutan harus terus didorong oleh semua pihak.

“Masyarakat harus terus terlibat aktif dalam usaha minyak sawit berkelanjutan, supaya mendapatkan manfaat ekonomi untuk kesejahteraan hidupnya,” ujar dia.

Lahan kelapa sawit di tanah air yang cukup luas membuat produksi CPO Indonesia besar dan mampu memenuhi kebutuhan baik pangan maupun energi. Hanya saja, produktivitas kelapa sawit yang rendah menjadi hal yang harus segera ditangani. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement