REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyebutkan, ada beberapa produk yang berpotensi menjadi komoditas ekspor di samping lima sektor prioritas dalam peta jalan Making Indonesia 4.0. Produk tersebut antara lain perhiasan dan sumber daya alam seperti perikanan dan hortikultura.
Airlangga menyebutkan, salah satu pengembangan yang sudah dilaksanakan adalah kawasan hortikultura di Lampung. Daerah ini sudah menghasilkan tanaman buah yang diolah dalam bentuk kalengan untuk diekspor ke sejumlah negara. "Utamanya, buah nanas dan pisang," ujarnya ketika ditemui di konferensi pers acara Outlook Perekonomian Indonesia 2019 dengan tema Meningkatkan Daya Saing untuk Mendorong Ekspor di Jakarta, Selasa (8/1).
Sementara itu, subsektor perhiasan dan permata diketahui sudah menghasilkan kinerja yang baik dengan mengalami pertumbuhan nilai paling besar untuk ekspor pada Oktober 2018. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), subsektor ini tumbuh sebesar 82,24 persen dengan nilai 294,1 juta dolar AS.
Selain itu, Airlangga menambahkan, sektor perikanan juga memiliki potensi besar mengingat Indonesia mempunyai luas perairan lebih besar dibanding dengan daratan. Potensi nilai manufakturnya dapat besar untuk diolah dan dikirim ke luar negeri. "Tapi, tentu ada kendala dalam ketersediaan bahan pengolah," tuturnya.
Dalam peta jalan industri 4.0, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memiliki target di sektor industri makanan dan minuman. Yakni, menjadikan Indonesia sebagai pemain utama industri makanan dan minuman di dunia.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencapai target tersebut adalah memaksimalkan olahan buah dan sayuran pada tiga hingga lima tahun ke depan. Tujuan utamanya, mengurangi ketergantungan impor bahan baku produk pertanian sehingga mampu meningkatkan efisiensi di seluruh rantai nilai industri melalui penerapan Industri 4.0.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution optimistis, ada sumber daya alam yang belum tereksploitasi dengan baik. Di antaranya kayu dan produk olahan kayu maupun perikanan. "Terus terang, kita masih agak tertinggal untuk olahan SDA-SDA ini," katanya.
Menurut Darmin, kayu dan perikanan saat ini belum terkelola dengan baik. Padahal, dua sektor ini dinilainya mampu mendorong daya saing Indonesia di pasar internasional. Apalagi, ketersediaan bahan bakunya melimpah, sehingga mudah didapatkan.
Darmin mengatakan, pemerintah kini harus semakin gencar mengidentifikasi komoditas yang perlu dimanfaatkan agar nilai ekspor bisa meningkat. "Kita juga akan coba telusuri sehingga prosedur ekspor dapat lebih mudah," tuturnya.
Sembari mengidentifikasi, Darmin menambahkan, proses standarisasi juga harus dikembangkan. Sampai saat ini, kebanyakan pengusaha Indonesia belum mengetahui dan menerapkan produk SDA seperti apa yang sesuai dengan internasional. Apabila standarisasi sudah jalan dan moda angkutan semakin jelas, ia optimistis, perkembangan ekonomi dari sisi supplai bisa semakin terdorong.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjelaskan, fokus Indonesia untuk ekspor SDA harus diiringi dengan kualitas sumber daya manusia (SDM). Sebab, untuk menjadikan SDA tersebut sebagai komoditas bernilai tinggi, dibutuhkan sistem pengolahan dengan teknologi. Di balik peralatan canggih, tentu membutuhkan kontribusi otak dan tangan para tenaga kerja.
Oleh karena itu, JK menjelaskan, fokus pemerintahan saat ini adalah meningkatkan kualitas SDM yang diyakini dapat menjadi kunci pertambahan nilai ekspor produk bernilai tinggi. "Di tengah revolusi industri 4.0 yang serba robotik, kita akan tetap butuh kontribusi dari SDM," ucapnya.