Jumat 04 Jan 2019 22:04 WIB

Alsintan Kementan Solusi Peningkatan Produksi Pertanian

Modernisasi pertanian untuk Indonesia negara kuat berbasis pertanian

Red: EH Ismail
Penggunaan alat dan mesin pertanian oleh petani
Penggunaan alat dan mesin pertanian oleh petani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) di bawah kepemimpinan Menteri Andi Amran Sulaiman memiliki program pengembangan pertanian modern untuk meningkatkan produksi dan menyejahterakan petani. Kebijakan pemerintah yang mengutamakan keberpihakan kepada petani ini menggunakan alat dan mesin pertanian ( alsintan) secara masif, mulai dari pengolahan lahan sampai dengan tahap panen dan pasca-panen.

Menurut Amran, modernisasi pertanian mutlak dilakukan untuk menjadikan Indonesia negara yang kuat berbasis pertanian. Program mekanisasi pertanian kementerian pertanian (Kementan) tidak hanya berperan nyata dalam meningkatkan produksi pangan. Namun juga terbukti menjadi solusi dalam kelangkaan tenaga kerja pertanian.

Sebagai langkah pengawasan terhadap bantuan-bantuan alsintan Kementan kepada petani, Amran mengundang langsung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk bersinergi memperkuat pencegahan korupsi dan mengecek penggunaan anggaran yang sudah digunakan Kementan.

“Untuk pencegahan, utamanya mengecek anggaran yang sudah disalurkan khususnya alat mesin pertanian. Kami ingin semua terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata Amran.

Amran menambahkan, Kementan sudah ada MoU sejak 2015 antara Ketua KPK dan Mentan.

 

Alsintan Sebagai Solusi Tingkatkan Produksi

Hasil analisis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementan pada 2015 menyebutkan, jumlah terbanyak tenaga kerja pada sektor tanaman pangan adalah petani yang sudah berusia lebih kurang 60 tahun kemudian disusul usia antara 40 hingga 45 tahun. Dampak nyata adanya kelangkaan dan usia lanjut tenaga petani untuk mendukung budidaya tanaman padi adalah rendahnya kapasitas kerja tanam padi per satuan luas lahan dan mahalnya biaya tanam.

“Masalah yang muncul pada kegiatan tanam dapat ditangani dengan menerapkan mesin tanam pindah bibit (transplanter) padi. Mesin transplanter sebagai solusi peningkatan kerja kegiatan tanam padi. Hemat tenaga kerja, mempercepat waktu penyelesaian kerja tanam per satuan luas lahan. Dan faktor tersebut akhirnya mampu menurunkan biaya produksi budidaya padi,” ujar Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Andi Nur Alam Syah di Jakarta, Jum’at (4/1).

Dampak nyata penggunaan mesin tanam padi ini, menurut Andi, terlihat dari hasil pengamatan di tingkat petani. Pengguna mesin transplanter menunjukkan rata-rata kinerja satu mesin transplanter dengan satu orang operator dan dua asistennya dapat menggantikan antara 15 hingga 27 hari orang kerja (HOK), sedangkan kemampuan kerja tanam mencapai 1 hingga 1,2 hektare per hari.

“Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Kementan telah menghasilkan mesin transplanter yang dinamai mesin Transplanter Jarwo 2:1. Secara umum rata-rata biaya tanam padi secara manual sekitar Rp 1,72 per hektare, sedangkan dengan mesin transplanter jarwo 2:1 sekitar Rp 1,1 per hektare,” ujar Andi Nur Alam.

“Keuntungan lain dari cara tanam dengan mesin transplanter munculnya usaha pembibitan padi, karena mesin memerlukan bibit khusus, yaitu umur bibit harus kurang dari 18 hari dan bibit harus ditaruh pada kotak mesin (tipe dapog) sesuai ukuran mesin. Rata-rata kebutuhan bibit sebanyak 250 sampai 300 dapog per hektar,” lanjut dia.

Andi menjelaskan, petani sudah profesional atau lihai menggunakan mesin transplanter. Ini terungkap dari hasil pemberdayaan yang dilakukan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Badan Litbang Kementan.

Di antaranya, Gapoktan Madiun Bersatu di Dusun Parit Madiun, Kecamatan Sei Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Petani sudah sangat menggantungkan kegiatan tanam pada mesin transplanter Jarwo 2:1. Biaya tanam padi secara manual dengan metode tanam Jarwo sebesar Rp. 1,8 juta per ha dan dengan Jarwo Transplanter hanya Rp 1,4 juta per ha. Produktivitas padi dengan metode tanam Jarwo meningkat rata-rata dari 3,3 ton per ha menjadi sekitar 4,7 ton per ha.

“Begitu juga di Kabupaten Subang, ongkos tanam manual sebesar Rp. 3,5 per ha dibanding untuk Jarwo Transplanter hanya Rp 1,8 juta per ha. Rata-rata produktivitas padi yang menerapkan metode tanam Jarwo mencapai 7,6 ton per ha,” tuturnya.

Fakta lainnya, sambung Andi, dirasakan juga oleh Kelompok Tani Suka Maju, Dusun Kalikebo, Kecamtan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dengan menggunakan mesin transplanter, biaya tanam secara manual untuk cara jarwo Rp 2 juta per ha.

“Sedangkan dengan transplanter sebesar Rp 1,9 juta per ha dengan rata-rata produktivitas padi dengan metode tanam Jajar Legowo mencapai 7,5 ton per ha,” kata dia.

Andi menegaskan, rata-rata persepsi petani pengguna mesin transplanter arwo 2:1 yakni sebagai solusi mulai munculnya kelangkaan tenaga kerja tanam, sekaligus meningkatkan efisiensi waktu dan biaya tanam yang akhirnya akan menurunkan biaya usahatani padi. Kemudian, dengan menggunakan mesin transplanter, usaha pembibitan secara dapog dianggap sebagai peluang bisnis bagi petani sehingga dapat membuka peluang kerja tenaga tanam yang tersisih oleh adanya mesin transplanter.

"Untuk itu, dalam meningkatkan hasil panen petani, Kementan terus meningkatkan jumlah bantuan alat mesin pertanian. Tahun ini, pemerintah memberikan sekitar 80 ribu unit alat mesin pertanian untuk disebar di seluruh wilayah di Indonesia,” paparnya.

Hal senada dikatakan Kepala Bidang KSPHP Agung Prabowo Balai Besar Pengembangan Mekanisasi bahwa penggunaan alat mesin pertanian secara nyata telah meningkatkan produksi pangan salah satunya padi. Contohnya, panen perdana di area pengembangan pertanian modern di Desa Kalikebo, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menghasilkan 10 ton padi per ha.

"Ini bukti nyata penggunaan alat mesin pertanian. Kami bekerjasama dengan pemerintah daerah, produksi naik dan petani tentunya sejahtera," pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement