Jumat 04 Jan 2019 04:17 WIB

Pengamat: 2018, Tahun Berat untuk Perekonomian Indonesia

Pertumbuhan output melambat, permintaan gagal membaik dan ekspor turun.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas ekspor impor
Foto: Republika/Prayogi
Aktivitas ekspor impor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Executive Director Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Rainer Heufers menilai, tahun 2018 dapat dikatakan sebagai tahun yang berat untuk perekonomian nasional. Sebab, berbagai faktor yang terjadi telah menyebabkan ketidakpastian bagi para pelaku ekonomi. 

Menurut Rainer, kekhawatiran tetap membayangi ekonomi Indonesia walaupun pertumbuhan ekonomi di atas lima persen dan tingkat kemiskinan berada di bawah 10 persen dari populasi. Kecemasan itu muncul karena adanya ketakutan akan berulangnya krisis ekonomi 1998.

Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin memperkuat kekhawatiran tersebut. Padahal, Rainer menambahkan, kondisi krisis ekonomi 1998 sangat berbeda dengan yang telah terjadi pada 2018. "Depresiasi mata uang jauh lebih rendah daripada tahun 1998. Bank-bank di Indonesia sudah lebih kuat dan sektor keuangan Indonesia jauh lebih kuat dalam menghadapi tekanan global," katanya dalam siaran pers, Kamis (3/1).  

Selain itu, cadangan devisa negara jauh melebihi yang dimiliki pada tahun 1998 dan rasio utang terhadap PDB kurang dari setengah dari 74 persen yang dialami Indonesia pada tahun 1998. Defisit anggaran dan tingkat utang secara umum tetap terkendali dan berada dalam batas aman yang diatur Undang-Undang. Hal ini bahkan tetap terjadi setelah Bank Indonesia mengikuti kebijakan normalisasi The Fed dengan menaikkan suku bunga tujuh kali dengan total 1,75 persen pada 2018.

Rainer menjelaskan, pemerintah sebaiknya fokus menerapkan strategi ekonomi jangka panjang yang menitikberatkan pada teknologi, produktivitas, dan peningkatan daya saing. "Hal ini penting diterapkan untuk mewujudkan agenda Nawa Cita Presiden yang bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur, pembangkit listrik, dan kesejahteraan rakyat," ujarnya.

Rainer menilai, yang terjadi saat ini justru cenderung kontradiktif dengan semangat tersebut. Pada 2018, Freeport akhirnya terpaksa melakukan divestasi untuk memungkinkan kontrol domestik atas sumber daya alam. PT Indonesia Asahan Aluminium menjual obligasi senilai 4 miliar dolar AS untuk mendanai akuisisi saham Freeport.

Selain itu, investor asing lainnya pada akhirnya keluar dari pasar komoditas Indonesia dengan mengikutsertakan keahlian dan teknologi mereka. Kondisi ini pada akhirnya berpotensi merugikan bangsa Indonesia.

Pemerintah bahkan tidak memotong subsidi BBM untuk mengurangi pengeluaran. Sebaliknya, pemerintah tetap berpegang pada keputusannya bahwa Pertamina harus menjual bahan bakarnya di bawah harga pasar nasional. 

Menurut Rainer, langkah ini adalah alasan penting mengapa defisit neraca berjalan mencapai 3,37 persen dari PDB pada tahun 2018. Sektor minyak dan gas mengalami kerugian 12,21 miliar dolar AS hingga November 2018. "Kondisi ini pada akhirnya berkontribusi pada hilangnya surplus aktual di sektor nonmigas dan menjadi kontributor terbesar untuk keseluruhan defisit neraca berjalan," ucapnya.

Pemerintah menerapkan tarif impor pada 1.147 komoditas. Rainer melihat, kebijakan ini, mungkin telah menyenangkan masyarakat tetapi tidak membawa dampak signifikan untuk menyeimbangkan neraca berjalan.

Secara umum, Rainer menuturkan, 2018 adalah tahun yang sulit bagi perekonomian.  Masih adanya sebagian perangkat peraturan yang tidak konsisten dan tidak efisien membuat pemodal atau pemilik bisnis menahan diri dalam menginvestasikan modalnya. 

Pertumbuhan output saat ini dinilai Rainer melambat, permintaan gagal membaik secara signifikan dan penjualan ekspor turun sepanjang tahun. Investasi asing langsung anjlok lebih dari 20 persen year on year pada kuartal ketiga 2018.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement