Kamis 03 Jan 2019 17:16 WIB

Kategorisasi, Tantangan Kembangkan Industri Fashion Muslim

Perlu ada pengkodean khusus untuk fashion Muslim.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Sejumlah model melakukan peragaan busana pada pembukaan Pameran Faith Fashion Fusion: Gaya Perempuan Muslim di Australia di Museum Fatahilah, Jakarta, Kamis (1/3).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah model melakukan peragaan busana pada pembukaan Pameran Faith Fashion Fusion: Gaya Perempuan Muslim di Australia di Museum Fatahilah, Jakarta, Kamis (1/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kategorisasi berupa kode harmonized system (HS) atau uraian barang masih menjadi tantangan terbesar dalam pengembangan ekspor industri fashion Muslim Indonesia. Sampai saat ini, produk tersebut masih dijadikan satu dengan komoditas fashion secara umum, sehingga sulit untuk melihat perkembangan kinerja ekspor dari tahun ke tahun. 

Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih menjelaskan, tidak mudah untuk ‘melepaskan’ fashion Muslim dari HS fashion secara umum. Sebab, dibutuhkan persetujuan dari negara lain mengingat HS merupakan indikator internasional. 

"Kalaupun mau mengganti, harus melalui proses yang panjang," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (3/1).

Apabila data yang dimiliki bisa mendetail, Gati menjelaskan, pemerintah akan lebih mudah dalam menentukan langkah pengembangan ekspor fashion Muslim di kemudian hari. Selama ini, pemerintah hanya bisa bergantung pada tingkat pembelian di pameran fashion Muslim yang sudah semakin banyak diadakan di berbagai daerah. 

Gati menilai, permasalahan ini dapat diselesaikan secara cepat apabila Kawasan Industri Halal (KIH) sudah dibangun dan beroperasi. Dari situ, akan lebih terlihat tingkat produksi fashion Muslim dan pengiriman barang ke luar negeri.

Data dari Kementerian Perindustrian mencatat, nilai ekspor produk fashion nasional sepanjang Januari sampai November mencapai 13,09 miliar dolar AS. Negara tujuan utamanya adalah Amerika Serikat. Uni Emirat Arab dan Turki juga masuk dalam 10 besar pasar utamanya. 

Gati menjelaskan, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain ekspor utama produk fashion Muslim di dunia. Salah satu faktornya adalah modal yang dimiliki oleh Indonesia sudah tersedia, khususnya sumber daya manusia dan kualitas desain. 

Hanya saja, Gati menambahkan, ketersediaan bahan baku memang masih menjadi tantangan besar. Saat ini, setidaknya 70 persen bahan untuk membuat produk fashion masih berasal dari luar negeri. "Pasalnya, industri gede juga melakukan impor, sehingga IKM yang membeli barang dari industri besar pun terkena dampaknya," ucapnya. 

Data dari Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan memperlihatkan, Amerika Serikat masih menjadi destinasi utama ekspor fashion. Meski belum terlihat bahwa data tersebut termasuk fashion Muslim, diprediksi industri ini berkontribusi besar dalam kinerja ekspor fashion secara keseluruhan.  

Direktur Pengembangan Pasar dan Informasi Ekspor Direktorat Jenderal PEN Kemendag Iriana Trimurty Ryacudu mengatakan, pihaknya sudah memiliki rencana untuk mengatasi permasalahan terkait data. Salah satunya, berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk pengkodean khusus produk halal, terutama fashion.

Koordinasi juga harus dilaksanakan dengan Dirjen Bea Cukai Kementerian "Keuangan untuk mencatat pengkodean saat ekspor. Rencananya, koordinasi akan mulai dilakukan pada tahun ini dengan dua unit terkait tersebut," ujar Iriana.

Dengan adanya pengkodean, Iriana berharap, pendataan mengenai kinerja ekspor fashion Muslim dapat tercatat secara baik. Selanjutnya, pemerintah bisa menentukan roadmap maupun langkah teknis secara lebih mendetail. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement