REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan program asuransi penting dalam melindungi bisnis perikanan pembudidaya ikan. Perlindungan ini khususnya saat terjadi bencana alam seperti di kawasan Selat Sunda baru-baru ini.
"Bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini, seperti tsunami Palu dan tsunami Selat Sunda, harus menjadi pembelajaran tentang pentingnya asuransi bagi pembudidaya ikan, karena potensi bencana alam akan dapat menyebabkan kerugian baik sarana maupun prasarana budidaya," kata Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (3/1).
Menurut dia, bencana alam dapat menyebabkan pembudidaya ikan menderita kerugian yang cukup besar sehingga untuk usaha berikutnya tidak mempunyai modal lagi. Bahkan, lanjutnya, bagi kalangan pembudidaya yang meminjam kredit bank atau lembaga pinjaman lainnya juga bisa berpotensi mengakibatkan menimbulkan kredit macet.
"Saat tsunami Selat Sunda saja, sebagian usaha perikanan budidaya di sana mengalami kerusakan yang cukup parah, di antaranya kerusakan kolam, tambak, sarana perbenihan dan kematian ikan massal," ucapnya.
Dengan demikian, ujar dia, harus disadari perikanan budidaya secara cepat atau lambat tidak terlepas dari pengaruh kondisi alam.
Ia mengemukakan, keseriusan KKP dalam mengatasi kerugian usaha budidaya yang diakibatkan oleh bencana alam dilakukan melalui Program Asuransi Perikanan bagi Pembudidaya Ikan Kecil (APPIK). Ini merupakan langkah kongkret dari komitmen KKP untuk melindungi pembudidaya ikan kecil agar mereka semakin berdaya dan mampu bangkit saat menghadapi kegagalan produksi akibat bencana alam ataupun penyakit.
APPIK ini merupakan hasil kerja sama KKP dengan menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI). APPIK dibentuk dari konsorsium beberapa perusahaan asuransi seperti PT Jasa Indonesia (Jasindo).
KKP menggulirkan program APPIK sejak 2017, dan pada 2018 dengan jumlah yang lebih besar. Jika pada 2017 alokasi untuk program ini sebesar Rp 1,485 miliar, pada 2018 menjadi Rp 2,987 miliar.
Selain itu, jumlah pembudidaya juga bertambah dari 2.004 orang menjadi 6.914 orang. Luasan lahan meningkat dari 3.300 hektare menjadi 10.220 hektare.
Provinsi dan kabupaten/kota sasaran pun makin luas dari 37 kabupaten/kota di 14 provinsi, kini mampu melingkupi 22 provinsi dengan jumlah 59 kabupaten/kota. "Tahun 2018 ini, KKP fokuskan untuk komoditas udang, bandeng, nila dan patin, yang sudah mencapai 10.200 hektar yaitu sebanyak 6.916 peserta di 22 provinsi tersebar di 59 kabupaten/kota seluruh Indonesia," kata Slamet.