Rabu 02 Jan 2019 16:30 WIB

Sumbar Pertahankan Inflasi Rendah di 2,6 Persen

Inflasi tertinggi pada 2018 terjadi pada Juli.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Friska Yolanda
Petugas melakukan pengecekan platform truk pengisian bahan bakar pesawat avtur, di Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Bandara Internasional Minangkabau (BIM), di Padangpariaman, Sumatera Barat, Rabu (2/8).
Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Petugas melakukan pengecekan platform truk pengisian bahan bakar pesawat avtur, di Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Bandara Internasional Minangkabau (BIM), di Padangpariaman, Sumatera Barat, Rabu (2/8).

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Tingkat inflasi Sumatra Barat sepanjang 2018 tercatat rendah, yakni 2,6 persen secara kumulatif. Angka ini masih di bawah capaian inflasi nasional yakni 3,13 persen secara tahun kalender 2018. 

Bila dirinci, indeks harga konsumen untuk Kota Padang secara kumulatif sebesar 2,55 persen dan Kota Bukittinggi 2,99 persen. Rendahnya inflasi di Sumatra Barat terutama disebabkan terjaganya pasokan bahan pangan.

Inflasi tertinggi pada 2018 terjadi pada Juli 2018, berbarengan dengan periode Ramadhan dan Lebaran. Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatra Barat mencatat, inflasi Padang pada Juli 2018 sebesar 0,62 persen. Sedang di Kota Bukittinggi, lonjakan inflasi tertinggi terjadi pada Oktober 2018 karena kenaikan harga cabai merah. 

Baca juga, Putusnya Jalur Padang-Bukittinggi tak Pengaruhi Inflasi

"Inflasi ini sangat diperlukan kestabilannya dari bulan ke bulan. Jangan sampai inflasi kecil namun bergejolak tinggi. Naik tinggi turun tinggi, itu pengaruhi produsen. Yang diharapkan inflasi rendah dan stabil. Sehingga konsumen dan produsen tidak dirugikan," jelas Kepala BPS Sumbar Sukardi, Rabu (2/1).

Selain itu, banyaknya bencana alam yang terjadi sepanjang Desember 2018 di Sumatra Barat ternyata tidak berimbas secara signifikan terhadap tingkat inflasi. Padahal, sejumlah bencana longsor dan putusnya jembatan penghubung jalur utama Padang-Bukittinggi sempat dikhawatirkan akan menghambat distribusi pangan dan mengerek angka inflasi. 

"Artinya, putusnya jalur distribusi memang sempat ada pengaruh, namun tidak signifikan. Terlihat dari inflasi yang masih stabil rendah. Jalur alternatif juga masih bisa digunakan untuk distribusi," jelas Sukardi. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement