Selasa 25 Dec 2018 18:01 WIB

Kemenperin Usulkan Pemotongan PPN untuk Industri Daur Ulang

Pengajuan insentif sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 2018.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
Souvenir cantik hasil daur ulang kertas bekas.
Foto: alfamart
Souvenir cantik hasil daur ulang kertas bekas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengajukan usulan insentif fiskal berupa potongan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar lima persen untuk industri daur ulang. Tarif PPN yang selama ini mencapai 10 persen dianggap memberatkan industri. Dengan pemotongan, diharapkan industri daur ulang nasional dapat terpacu berkembang.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, penetapan tarif 10 persen yang selama ini dibebankan kepada pelaku industri daur ulang terbilang kurang adil. Sebab, tarif diaplikasikan ke seluruh proses, termasuk dari pengepulan yang dilakukan pemulung dan pihak pengumpul.

Tapi, Sigit mengatakan, pemulung dan pengumpul tidak bisa ditarik PPN karena tidak masuk dalam badan usaha. Pada akhirnya, pajak dibebankan kepada industri daur ulang. "Begitu masuk industri recycle, mereka disuruh bayar 10 persen. Itu kita minta potong jadi lima persen agar beban industri tidak besar," ujarnya ketika dihubungi Republika, Selasa (25/12).

Sigit menuturkan, Kemenperin sudah mengajukan usulan ini kepada Kementerian Keuangan dan sekarang memasuki tahap pembahasan. Sebelumnya, Kemenperin meminta PPN yang dibebankan kepada industri daur ulang hanya satu persen. Tapi, karena pemotongan terlalu signifikan dan tidak dibahas-bahas, Kemenperin menaikkan besaran yang diusulkan menjadi lima persen.

Sementara itu, Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen IKTA Kemenperin Taufik Bawazier menuturkan, pengajuan sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 2018. Usulan keringanan diberlakukan untuk seluruh proses industri, yakni dari pengepulan, penggilingan, pengkonversian sampai distribusi ke pelaku usaha ataupun konsumen langsung.

Usulan Kemenperin bukan tanpa sebab. Menurut Sigit, industri daur ulang merupakan industri yang ramah lingkungan dan dapat menyerap banyak tenaga kerja. Saat ini, sudah ada sekitar 1.580 industri daur ulang yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Utamanya, di Batam dan Jawa Tengah. "Total tenaga pekerja di ribuan industri itu mencapai 177 ribu orang," tuturnya.

Dengan berbagai pertimbangan yang ada, Sigit berharap Kemenkeu dapat mengakaji usulan Kemenperin secara komprehensif dan menerima usulan. Tujuannya, meringankan industri daur ulang sekaligus meningkatkan kontribusi industri dalam menjaga kelestarian lingkungan dengan mengurangi sampah plastik.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mendukung usulan tersebut. Insentif berupa penurunan PPN akan lebih efektif dibanding dengan penerapan cukai plastik untuk mengurangi jumlah sampah plastik di Indonesia. "Industri daur ulang jangan dibebani, nanti siklus yang selama ini sudah baik justru terganggu," katanya.

Fajar menambahkan, pemerintah juga sebaiknya fokus mengelola pemilahan sampah dari hulu atau rumah tangga. Sebab, permasalahan utama industri daur ulang saat ini adalah pemilahan sampah yang membutuhkan waktu lama akibat jumlahnya mencapai jutaan ton. Apabila permasalahan hulu ini telah ditangani, ia optimistis, kinerja industri daur ulang bisa lebih maksimal.

Justru, Fajar menilai, rencana penerapan cukai plastik terhadap kantong plastik belanja berpotensi menurunkan tingkat produksi dan investasi pada industri plastik itu tersendiri. "Dampak langsungnya juga, impor plastik untuk substitusi produksi dalam negeri dapat meningkat," ucapnya.

Penerapan cukai plastik juga akan memberikan efek buruk pada pemerintah. Fajar mengatakan, salah satu dampaknya adalah kemungkinan berkurangnya penerimaan negara dari PPN dan Pajak Penghasilan dari industri plastik. Selain itu, pengawasan kebijakan juga membutuhkan tenaga dan biaya yang besar mengingat 60 persen kantong plastik belanja beredar di pasar basah atau tradisional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement