REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berupaya mempercepat implementasi perjanjian perdagangan dengan sejumlah negara untuk bisa menggenjot ekspor. Seperti diketahui, neraca perdagangan mengalami defisit sebesar 7,5 miliar dolar AS pada Januari hingga November 2018.
"Dibandingkan dengan beberapa negara, kita dikenakan bea masuk yang cukup tinggi karena memang sekian lama belum ada perjanjian dagang," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta pada Kamis (20/12).
Dia mengatakan, Indonesia telah menyelesaikan perjanjian dagang dengan Cile dan negara anggota European Free Trade Association (EFTA). Akan tetapi, hal itu pun perlu diratifikasi sebelum berlaku. Enggar menyebut, proses itu akan selesai pada semester kedua 2019.
Selain itu, Pemerintah juga akan mengejar penyelesaian perjanjian dagang yang sedang dalam proses seperti dengan Mozambik, Tunisia, Maroko, Uni Eropa dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Bahkan, kata Enggar, jika perjanjian dagang RCEP bisa rampung tahun depan maka akan meliputi 50 persen pasar dagang dunia. Untuk diketahui, RCEP terdiri atas 10 negara ASEAN plus 6 negara Asia Pasifik termasuk Cina dan India.
Enggar mengatakan, Indonesia memiliki peran sebagai negara koordinator perjanjian dagang tersebut. Namun, ujarnya, upaya menjembatani negara tersebut tidak mudah lantaran tidak semua negara sudah memiliki perjanjian dagang. "Tetapi, tahun depan kita upayakan selesai," kata Enggar.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah akan berupaya mendorong ekspor otomotif. Salah satu yang diajukan adalah menghapus Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan jenis sedan.
Selain itu, Menperin juga berupaya mendorong industri menengah berorientasi ekspor seperti industri daur ulang plastik. Kendati demikian, dia menyebut, pemerintah masih membahas insentif baru yang bisa diberikan untuk mendorong ekspor.
"Nanti kita masih akan rapat lagi," kata Airlangga.