Rabu 19 Dec 2018 07:20 WIB

'Pemerintah Jangan Panik Hadapi Defisit Perdagangan'

Insentif akan menjadi kontraproduktif saat kondisi ekonomi kembali normal.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas ekspor impor
Foto: Republika/Prayogi
Aktivitas ekspor impor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR Misbakhun mengatakan, defisit neraca perdagangan yang terjadi pada November 2018 tidak sepatutnya ditanggapi dengan rekomendasi pemberian insentif ekspor. Defisit itu bersifat situasional karena menjelang pemilihan umum. 

Misbakhun menjelaskan, apabila dilihat sejarahnya, posisi neraca perdagangan memang selalu defisit besar pada tahun-tahun menjelang pemilu, termasuk penurunan ekspor. Misalnya, pada 2003, 2008 dan 2013. "Paling banyak dikarenakan investasi modal mengalami penurunan karena menahan diri, menunggu masa ketidakpastian itu selesai," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (18/12).

Oleh karena itu, pemerintah tidak perlu melakukan kebijakan impulsif seperti memberikan insentif ekspor kepada pengusaha. Selama ini, Misbakhun menilai, insentif yang diberikan sudah cukup. Termasuk di antaranya dengan memberi kemudahan kredit pembiayaan ekspor pada pelaku usaha.

Misbakhun cemas, apabila insentif ekspor terus diberikan kepada pengusaha, justru bisa menimbulkan kontra produktif saat kondisi kembali normal. "Misalnya, industri menjadi lebih manja dengan segala kemudahan yang diberikan pemerintah sehingga daya kemampuan kompetisinya menurun," ujarnya.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan November 2018 mengalami defisit sebesar 2,047 miliar dolar AS yang merupakan performa perdagangan terendah sejak Januari 2014. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, defisit neraca perdagangan merupakan fenomena lumrah terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini karena negara-negara berkembang perlu modal yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Modal ini didapatkan melalui impor dari negara-negara maju dalam bentuk barang modal," katanya.

Namun, defisit neraca perdagangan juga dapat berakibat pada cadangan devisa yang tergerus terus-menerus, terutama apabila investasi asing mandek. Dampaknya, kondisi ini dapat mengancam stabilitas nilai tukar rupiah di masa mendatang.

Menghadapi situasi defisit neraca perdagangan, Ilman menilai, Indonesia perlu melakukan dua hal utama. Pertama, pemerintah perlu mendorong tumbuhnya industri non-ekstraktif yang berdaya saing di pasar internasional.

Dengan mendorong tumbuhnya industri non-ekstraktif, diharapkan akan mendorong diversifikasi ekspor. Dengan begitu, neraca perdagangan kedepannya tidak akan bergantung kepada komoditas alam yang tren harganya cenderung rendah dan volatil.

Selanjutnya, tumbuhnya industri non-ekstraktif dapat diiringi dengan mendorong arus masuk investasi asing langsung  di sektor padat karya. "Harapannya, arus modal yang masuk melalui investasi langsung dapat memberikan stabilitas perekonomian lebih baik, apabila dibandingkan dengan suntikan modal asing tidak langsung (melalui portofolio)," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement